Suasana PPDB 2018 di salah satu SMA. (BP/dokumen)

Berbahagialah para orangtua yang anaknya tidak mencari sekolah lanjutan pada tahun ajaran ini. Entah itu mau melanjutkan ke SMP ataukah SMA. Sistem zonasi yang diterapkan pemerintah pada tahun ini membuat para orangtua benar-benar kelimpungan, frustrasi, marah, jengkel dan sebagainya.

Entah bagaimana rasanya menjelaskan hal ini dengan kata maupun kalimat. Sistem zonasi membuat kehebohan baru. Rasanya bukan dunia pendidikan, kalau tidak membuat heboh.

Sistem zonasi yang pada hakikatnya ingin melakukan pemerataan pendidikan seperti tercantum dalam sistem pendidikan nasional, pada intinya memang baik. Baik, karena tidak ada lagi sekolah unggulan yang menjadi rebutan.

Baca juga:  Menunggu Reinkarnasi Ujian Nasional

Akan tetapi, hal-hal yang mendukung penerapan itu harus dipikirkan dulu. Pikirkan dulu, setelah dipikirkan baru disiapkan. Sebelum sampai pada tahap ini tentu akan melalui beberapa tahapan lainnya yang bukan tidak mungkin mempunyai tingkat kesulitan yang tinggi. Tidak hanya soal pengadaan sumber daya manusianya tetapi juga soal penganggaran.

Sistem zonasi akan menjadi suatu hal yang ideal manakala sudah ada tingkat pemerataan terhadap kualitas serta kuantitas masing-masing sekolah. Kalaupun ada perbedaan, itu tidaklah mencolok.

Baca juga:  Mempermudah Memahami Zonasi PPDB

Kualitas guru mesti sama, kualitas gedung sekolah dengan segala peralatan di dalamnya harus sama. Pokoknya sarana serta prasarana kegiatan sekolah itu mesti sama. Apakah kita bisa begitu? Mungkin saja bisa. Namun, untuk saat ini sama sekali tidak. Kualitas serta kuantitas antarsekolah itu tidak sama. Ini kita bicara sekolah negeri. Bagaimana dengan kondisi seperti ini kita akan melakukan sistem zonasi?

Pertanyaan yang sangat mendasar. Seorang pejabat pengambil keputusan soal sistem kependidikan ini mesti tahu betul kondisinya. Tahu betul seperti dia tahu telapak tangannya sendiri. Tahu dan hafal.

Baca juga:  Dinilai Terburu-buru, Pergub PPDB Ditentang di Kota Denpasar

Dengan demikian, dia kemudian bisa merumuskan ketentuan atau sistem yang pas untuk pendidikan nasional. Bukan sebatas sistem penerimaan siswa baru. Ini semestinya sudah menjadi hal yang dipelajari betul oleh pejabat kita karena saban tahun selalu saja ada yang ‘’baru’’ di dunia pendidikan. Celakanya, yang baru itu bukannya membuat lega, bahagia atau bangga, tetapi sebaliknya.

Ini tentu menjadi sebuah preseden yang sangat buruk di departemen ini karena tidak pernah mau belajar. Sungguh ironis.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *