Sejumlah warga membaca buku di Rumah Baca Loloan. (BP/olo)

Budaya membaca remaja kita patut dipertanyakan. Kita lihat saja sehari-hari di rumah saat liburan panjang sekolah yang sedang berlansung. Mereka lebih memilih chatting di medsos daripada membaca buku. Apalagi buku pelajaran.

Literasi belum menjadi budaya mereka. Untuk menjadikan membaca sebagai sebuah budaya haruslah dimulai dari pembiasaan dan pembiasaan secara kontinu. Jadi, membaca baru bisa menjadi sebuah hobi kalau pembiasaan itu muncul sejak dini dan dilakukan secara berkelanjutan.

Bagaimana caranya membuat diri merasa belum lengkap tanpa membaca dalam sehari? Para guru pun sering memotivasi siswa dan remaja bahwa orang pintar di kelas hanya karena dia duluan membaca materi pelajaran dibandingkan teman sekelasnya.

Mengapa budaya literasi kita rendah? Faktor internal dan eksternal tetap menjadi penyebabnya. Apalagi di tengah budaya narsis, semua bisa diperoleh lewat internet dan medsos. Ditambah lagi sikap anak-anak sekarang yang serbamanja, mau instans, bukan berjuang mencari di berbagai sumber belajar.

Baca juga:  Transformasi Ekonomi Kerthi Bali, Gubernur Koster Dukung Literasi Pasar Modal ke Desa Adat

Kita bisa lihat saja aktivitas dan cara belajar pelajar sekarang. Mereka tak mau membaca buku terlebih dahulu untuk memperoleh pengalaman baru atau materi baru, namun sudah loncat menjawab pertanyaan di bagian akhir materi. Namun anehnya, mereka belum menemukan jawaban langsung minta bantuan medsos. Bukan membuat mereka merasa tertantang mencari jawaban dengan cara membaca materi pelajaran.

Salahnya guru juga yang semakin jarang memberi tugas bersifat penerapan bagi siswanya dalam soal-soal problem solving. Guru meninggalkan tanpa pengawasan bagaimana proses siswa mendapatkan jawaban. Beda dengan terdahulu, guru mengawasi siswanya mencari bahan di perpustkaan dan memberi arahan buku mana yang harus dibaca untuk referensi masalah tertentu. Bahkan di sebuah sekolah, siswa sekelas kecewa dengan kebiasaan gurunya hanya menyuruh siswa mempelajari bab tertentu setelah itu meninggalkan kelas.

Baca juga:  "Tatwa," Seni, dan Ekonomis

Di sejumlah sekolah di Bali ada Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang didanai oleh komite dan pusat. Namun, gaungnya kian meredup ketika SMA dan SMK negeri di Bali tak boleh lagi memungut uang komite.  Akibat lainnya, struktur anggaran sekolah pun banyak terpotong. Bahkan kini, sekolah kehilangan sebagian ruang perpustakaannya karena dipakai kelas akibat kesalahan kebijakan PPDB gelobang II yang mengharuskan menerima siswa lebih banyak lagi. Semua demi politik dan popularitas. GSL bisa jadi hanya slogan, padahal perpustakaan adalah sumber utama belajar bagi siswa. Ini yang membuat membaca sebagai hobi semakin jauh panggang dari api.

Sistem PBM pun dinilai masih kering dengan media sosialisasi. Mestinya, guru mengajak siswa untuk saling berinteraksi dengan temannya. Ciptakan sebuah kelompok baca sangat membantu minat baca siswa. Membuat sebuah kelompok baca kemudian memberikan literatur bacaan kepada mereka dan saling menceritakan apa yang menarik dari bacaannya kepada temannya. Ini bisa meningkatkan pemahaman mereka dan membuatnya jauh lebih menyenangkan.

Baca juga:  2022, BRI Optimis UMKM Tumbuh Lebih Baik

Untuk meningkatkan minat baca banyak caranya. Seperti mengajak siswa ke taman bacaan di alam, membuat aneka lomba dan membuat slogan. Buat permasalahan yang berhubungan dengan bacaan. Permasalahan bisa berhubungan dengan sejarah, politik, agama ataupun ekonomi. Berikan mereka tugas itu untuk membaca  dan menggali informasi tentang itu sebanyak-banyak. Orangtua harus ikut memberikan dukungan dengan menyiapkan waktu membaca bersama pada hari tertentu.

Kemajuan teknologi bisa dilakukan, namun jangan tinggalkan buku adalah sumber belajar utama.  Jadikan membaca sebagai hobi yang menyenangkan karena hasilnya nanti berupa berbagai pengetahuan dan pemahaman soal rahasia segala kehidupan. Ayo membaca!

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *