Putusan Mahkamah Konstitusi telah keluar dan seluruh masyarakat Indonesia telah mengetahuinya. Kita merasa gembira karena sejauh ini tidak ada gejolak menyertainya. Harus diakui masyarakat harap-harap cemas menunggu putusan ini. Dan kalau boleh jujur, secara psikologis masyarakat kita khawatir.
Lihat saja misalnya kerumunan di warung-warung yang membincangkan bagaimana kemungkinan hasil putusan tersebut. Kita juga dengar perbincangan pada tingkat mahasiswa yang juga membincangkan masalah itu. Ini artinya, pada skala yang luas, ada kekhawatiran terhadap putusan itu.
Kita paham karena dalam dua pemilihan umum presiden terakhir, selalu melibatkan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menguji kemenangan tersebut. Pada tahun 2019 ini, malah ada kekhawatiran lain karena sebelumnya dihiasi dengan kerusuhan di Jakarta tanggal 21 dan 22 Mei yang lalu. Sebelumnya juga ada pernyataan elite yang ceroboh dengan mengatakan people power untuk menghadapi kecurangan pemilu. Itulah yang menjadi latar kekhawatiran masyarakat sehingga kita pantas hati-hati menghadapi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
Kita hormati bagaimana tanggapannya pemerintah dengan situasi tersebut. Ribuan personel pasukan keamanan dikerahkan di sekitar gedung Mahkamah Konstitusi. Seperti juga apa yang kita saksikan pada kerusuhan bulan Mei lalu, ribuan polisi juga dikerahkan tetapi kerusuhan juga pecah.
Perbedaannya kali ini adalah kesiapan pihak keamanan. Mereka telah mempunyai pengalaman dan sudah tentu hasilnya lebih baik. Kita juga apresiasi karena semua pihak yang bersengketa di Mahkamah Konstitusi, telah menyatakan tidak akan mengerahkan massa. Ini tentu saja sikap positif yang mampu menurunkan tensi ketegangan. Dengan kesiapan yang dilakukan oleh pihak keamanan Indonesia, kita mendapat jaminan tentang situasi keamanan tersebut.
Sikap aman ini, bukan sekadar keperluan kita sebagai masyarakat dan keperluan negara, tetapi juga untuk nilai-nilai demokrasi yang kita anut. Bahwa pihak-pihak yang terkait pada pemilu ini dapat menerima putusan Mahkamah Konstitusi, itu sudah pasti akan mendapat apresiasi dari negara-negara lain.
Kita sempat bangga karena Indonesia banyak dipuji sebelumnya sebagai negara yang mampu melaksanakan pemilu lima kategori sekaligus, hanya dalam satu enam jam. Kini sikap keberhasilan pihak yang bersengketa menerima putusan lembaga Mahkamah Konstitusi pastilah juga mendapatkan apresiasi. Bahkan secara internal, pihak yang sebelumnya ngotot merasa menang tetapi kemudian dinyatakan kalah, tetapi kemudian mengakui kekalahannya, pasti juga mendapat respons positif dari masyarakat sendiri.
Yang paling penting adalah kemampuan menghargai demokrasi. Banyak orang yang terlalu mempercayakan bahwa demokrasi itu hanya menyangkut kebebasan memilih dan kebebasan untuk berbicara. Tetapi satu esensi penting dari demokrasi itu adalah penghargaan kepada hukum dan putusan kepada lembaga peradilan.
Bisa dibayangkan bagaimana situasi sosial jika penghargaan dan penghormatan ini tidak ada. Karena itulah, penerimaan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi ini benar-benar merupakan cermin bagi kita masyarakat Indonesia yang sudah siap dengan demokrasi yang sebenarnya.
Tentu kita menyimpan tabungan untuk generasi penerus kita. Apabila para elite kita terus-menerus mampu bersikap memberikan penghargaan, mengakui kekalahan itu, maka generasi penerus akan mampu meniru dan menerapkan nilai-nilai ini pada masa depan.
Dalam khazanah pergaulan dunia pada saat itu, Indonesia akan memberikan sumbangan besar kepada demokrasi karena menyelipkan rasa gotong royong di dalamnya, menyisipkan tepa selira. Demokrasi dengan tepa selira adalah gaya baru dalam demokrasi di dunia karena di dalamnya juga menyangkut bersiap untuk saling bekerja sama antara pihak-pihak yang kalah dan pihak-pihak yang menang. Inilah bentuk gotong royong yang diperlukan dunia dalam mengelola pemerintahan negara.