Oleh I Ketut Suda
Telah dipahami bahwa revolusi industri 4.0 merupakan generasi ke empat dari revolusi industri yang terjadi sebelumnya. Adapun revolusi industri yang terjadi selama ini adalah mulai dari revolusi yang berbasis mesin uap (RI 1.0), kemudian menuju revolusi yang berbasis elektrik (RI 2.0), lanjut revolusi yang berbasis computerized dan automation (RI 3.0), sampai pada revolusi industri 4.0 yang berbasis cyber physical system (RI 4.0).
Salah satu efek dari terjadinya revolusi industri 4.0 ini adalah munculnya disruptif pada segala lini kehidupan, termasuk kehidupan bidang pendidikan. Menurut Rhenald Kasali (2017:34) disruptif merupakan sebuah inovasi, yakni proses penggantian sistem lama dengan cara-cara yang baru yang terjadi secara radikal. Atau dengan bahasa lainnya dapat dikatakan bahwa revolusi industri 4.0 merupakan wakil generasi ke-4 dari perubahan struktur sosial masyarakat yang terjadi secara radikal (revolusioner).
Dalam konteks ini pertanyaan besarnya adalah, apakah berkembangnya paradigma pendidikan 4.0 merupakan ancaman atau peluang bagi guru, khususnya para guru generasi tua (generasi Y)? Sebelum menjawab pertanyaan ini ada baiknya diketengahkan dulu seperti apa paradigma pendidikan 4.0 tersebut.
Paradigma pendidikan 4.0 merupakan paradigma pendidikan yang di dalamnya terjadi peningkatan konektivitas, interaksi, dan batas antara manusia, mesin, dan sumber daya lainnya yang semakin konvergen melalui teknologi informasi dan komunikasi. Efek menonjol dari era ini adalah terjadinya kecepatan dan percepatan tempo kehidupan yang menurut Piliang (2005: 3) disebut politik waktu (chrono politics), sehingga pembaruan dalam segala aspek kehidupan yang berlangsung sangat cepat, sulit dihindari. Perubahan yang terjadi dimulai dari hulu hingga ke hilir, dan cenderung mengolaborasikan tiga aspek di dalamnya, yakni manusia sebagai faktor tenaga kerja, teknologi/mesin, dan big datta.
Terkait tempo percepatan dalam berbagai dimensi kehidupan, ternyata membawa tantangan besar, jika tidak mau disebut ancaman bagi kehidupan dunia pendidikan. Salah satu ancaman mendasar yang harus dihadapi para pelaku pendidikan (baca: guru) adalah upaya menguasai tejadinya pergeseran kekuasaan/kecepatan dari relasional kekuasaan/teritorial (power/place) ke relasi kekuasaan/kecepatan (power/speed) yang didukung oleh relasi kekuasaan/pengetahuan (power/knowledge) sebagaimana dipahami Foucault.
Andaikan para guru saat ini tidak mampu mengikuti tempo percepatan sebagaimana digambarkan Foucault, maka hal tersebut akan menjadi ancaman tersendiri bagi para guru itu sendiri. Akan tetapi, ketika mereka mampu mengadaptasi dan mengartikulasikan dinamika percepatan tersebut, tentu hal ini akan menjadi peluang bagi mereka untuk menemukan dan mengembangkan berbagai strategi pembelajaran yang dapat merangsang peserta didik untuk belajar kreatif dan inovatif.
Hal ini menarik, sebab di era pendidikan 4.0 pemanfaatan teknologi cyber dalam konteks pembelajaran semakin sentral. Atau dengan bahasa lainnya, diintegrasikannya teknologi cyber ke dalam proses pembelajaran, di mana tenaga manusia diselaraskan dengan mesin dalam upaya mencari solusi pemecahan masalah kehidupan, maka proses ini sangat memungkinkan terjadinya inovasi baru dalam konteks pembelajaran.
Lagi-lagi hal ini akan menjadi peluang bagi para guru apabila mereka kreatif dan inovatif dalam beradaptasi dengan dinamika perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi. Misalnya, ketika sumber daya manusia dan teknologi/mesin diselaraskan dalam upaya pemecahan permasalahan hidup manusia, maka ada dimensi-dimensi tertentu yang tidak mampu dikerjakan oleh mesin atau teknologi itu sendiri, sehingga hal itu akan menjadi lowong.
Dimensi-dimensi dimaksud adalah penanaman nilai-nilai etika, sopan santun, nilai budaya, dan bebagai nilai kearifan sosial yang dimiliki oleh masyarakat lokal tidak akan pernah bisa dilakukan oleh mesin/teknologi. Oleh karenanya di sinilah peluang bagi guru, terutama yang kreatif dan inovatif dalam mengemas berbagai strategi pembelajaran akan dapat mengisi kekosongan tersebut. Hal menarik lainnya, bagi guru yang kreatif dan inovatif, dengan diintegrasikannya teknologi cyber ke dalam proses pembelajaran di ruang kelas adalah dapat membuat dirinya memiliki potensi untuk meningkatkan kualitas hidup, baik bagi dirinya maupun bagi para peserta didiknya. Hal ini bisa terwujud, karena kemampuan dalam memanfaatkan teknologi secara efektif dan efisien, termasuk dalam hal mengartikulasikan berbagai kehidupan sosial dalam masyarakat, dapat meningkatkan produktivitas kerja, dan sekaligus menurunkan biaya transportasi dan komunikasi. Untuk bisa mencapai hal tersebut, tentu dituntut kemampuan untuk beradaptasi terhadap perkembangan teknologi, terutama teknologi komputer dan internet yang dapat memudahkan manusia dalam menghadapi berbagai permasalahan hidupnya.
Penulis, Guru Besar bidang Sosiologi Pendidikan, Program Pascasarjana, Universitas Hindu Indonesia, Denpasar