Patung Catur Muka yang merupakan ikon Kota Denpasar. (BP/wan)

Oleh Putu Rumawan Salain

Tanah dapat menjadi warisan atau sebagai pusaka. Bahkan dalam perjalanan waktunya, tanah dapat pula menjadi aset sekaligus status sosial bagi pemiliknya. Tanah pada suatu kota kini telah menjadi komoditas dan menjadi kepentingan bagi para kapitalis.

Hak atas kota yang komunal dipasung oleh kelompok urban di bawah panji-panji industri-kapitalistik. Kesalahan memaknai lahan akan bermuara pada degradasi nilai dan kualitas spasial pada sebuah kota yang mengedepankan budaya.

Kota Denpasar yang tumbuh dari landasan kota kerajaan terbangun dari modal budaya agraris ‘’air’’ pada 231 tahun lalu, kini telah berkembang menjadi salah satu kota di Indonesia yang nyaman untuk dihuni dengan indeks kebahagiaan maupun indeks pembangunan manusia di atas rata-rata nasional. Modal budaya agraris yang ditimpali dengan budaya jasa dan industri telah berhasil mengubah matra Kota Denpasar yang juga menjadi ibu kota Provinsi Bali.

Keberhasilan tersebut setidaknya menunjukkan bahwa sinergitas pembangunan antara pemerintah-masyarakat-pengusaha berada pada arah yang tepat. Tingkat keberhasilan tersebut di atas setidaknya ditopang oleh adanya kecerdasan ataupun kearifan lokal yang bersumber dari adat, agama, dan budaya yang merupakan ideologi masyarakat Hindu di Bali dan khususnya di Kota Denpasar.

Hubungan antara masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan alam, dan masyarakat dengan keyakinannya yang dikonsepkan dengan ekual disebut sebagai filosofi Tri Hita Karana, melahirkan konsep pembangunan yang berkelanjutan atas dasar masa lalu, kini, dan yang akan datang. Pembangunan yang berkelanjutan sangat ditopang oleh pelaku ‘’manusia’’ dengan modal dasar berupa tempat mereka tinggal ‘’alam semesta’’.

Hubungan alam semesta ‘’makrokosmos’’ dengan manusia ‘’mikrokosmos’’ ditingkahi dengan ideologi yang diperoleh dari keyakinannya, sehingga alam dan manusia harus dijaga untuk generasi selanjutnya. Dijaga melalui pemahaman agama dan kepercayaan mereka disertai dengan berbagai peraturan dari pemerintah.

Representasi alam di permukaan bumi ini dapat berupa tempat manusia untuk melangsungkan dan mempertahankan hidupnya. Alamlah yang memberikan dan menjadi sumber kehidupan yang wadahnya berupa tanah.

Tanah dengan segala kandungannya menjadikan dan membentuk karakter manusia yang menempatinya. Tanah juga menghasilkan cita rasa buah yang berbeda-beda sesuai dengan lokasi, ketinggian, maupun iklimnya, bahkan sangat mungkin perilaku mereka.

Baca juga:  Bali Masuk Daftar 30 Situs Warisan Dunia UNESCO Terpopuler

Secara singkat dapat disebutkan bahwa fungsi tanah berupa lahan yang diolah untuk mewadahi kegiatan pertanian, kehutanan, perumahan, perindustrian, pertambangan, dan yang lainnya. Tanah juga dapat diolah untuk bahan bangunan, alat-alat rumah tangga/ritual, sampai dengan keramik.

Bahkan, tanpa kita sadari tanah juga menjadi lokasi sumber air dan fungsi-fungsi ekologis. Oleh karenanya, tidak dapat dimungkiri bahwa tanah sebagai sumber kehidupan dan penghidupan manusia, khususnya oleh ummat Hindu di Bali sering menyebutnya sebagai pertiwi (ibu bumi).

Tidak berlebihan kiranya jika tanah dapat disebut sebagai aset pembangunan maupun aset spiritual di Bali dan Kota Denpasar khususnya. Luas Kota Denpasar tergambarkan dari luas tanahnya atas beragam fungsi yang diembannya. Dari data BPS tahun 2018 adalah 127,78 km2. Luas tersebut merupakan 2,18% dari luas Pulau Bali. Terdiri dari empat kecamatan dengan penduduk lebih dari 900.000 jiwa pada tahun 2018 menjadikan Kota Denpasar telah mendekati kota metropolitan.

Hampir 60% dari luas wilayah Kota Denpasar telah terbangun, sisanya yang 40 % merupakan luas ruang terbuka hijau kota yang menurut standar mencapai 30% dan sisanya adalah luas lahan sawah, tanah kering dan tanah lainnya. Kondisi ini dikhawatirkan akan kian berubah mengingat begitu pesatnya pembangunan yang memangsa dan mengalihfungsikan lahan persawahan.

Lahan merupakan kata kunci dalam pembangunan, berapa pun harganya. Lahan menjadi komoditas utama sehingga sering disebut sebagai emas hitam. Chapin, dalam Rolobessy (1999) menyebutkan bahwa di dalam pemanfaatan suatu lahan ditentukan oleh nilai-nilai yang memengaruhi perilaku manusia di dalam ruang/lahan.

Adapun nilai-nilai tersebut adalah : 1). Oriented profit making, yaitu berkenan dengan nilai-nilai yang berhubungan dengan nilai harga tanah yang berorientasi pasar untuk memperoleh keuntungan. 2). Public interest, merupakan  nilai-nilai yang berhubungan dengan kondisi kehidupan manusia yang berorientasi pada kepentingan umum.

Baca juga:  Mengapa Gen Z Enggan Jadi Guru?

Kedua perilaku tersebut di atas dikhawatirkan akan menjadikan lahan sebagai komoditas sehingga lambat laun akan menggilas aset budaya air berupa lahan menjadi ruang-ruang urban metropolitan yang kering dengan makna sosial dan budaya. Oleh karenanya, jalan utama dan penting dilakukan adalah dengan mendata aset lahan kota sesuai dengan fungsinya baik dari segi kepemilikan, luas, lokasi, pajak, dan lainnya.

Aset tersebut bisa saja berupa lahan rumah, perkantoran, perhotelan, restoran, lapangan, setra, sekolah, ruang terbuka, taman kota, fasilitas kesehatan, sawah, kebun, pasar, pura, masjid, gereja, dan lainnya. Masing-masing fungsi tersebut nantinya tentu dapat diklasifikasi menjadi kelompok: sawah, perumahan, perkantoran, pendidikan, perdagangan/niaga, industri, rekreasi, pariwisata, ibadah, dan seterusnya.

Sangat diyakini bahwa masing-masing fungsi tersebut di atas tentu telah ada sertifikat atau bukti lainnya seperti yang dilakukan bagi yang membangun gedung pasti ada Ijin Mendirikan Bangunan, begitu pula dengan sertifikat lahan berupa sawah sebagian besar sudah tersertifikat oleh karena program pemerintah, ataupun juga dapat didekati atas kitir pembayaran pajak bumi dan bangunan, maupun pipil.

Melalui upaya pemetaan oleh pemerintah sebenarnya tinggal melakukan pengecekan ulang atas nama dan bukti yang terdaftar, mencocokkannya, merevisi, ataupun menggantikannya dengan data terbaru melalui hasil pengukuran ulang di lapangan. Untuk kegiatan tersebut masyarakat tidak perlu resah, karena salah satu tujuannya adalah menghitung aset dan potensi atas dasar luas lahan yang ada di Kota Denpasar. Sehingga pada masa yang akan datang sudah dapat diterbitkan informasi lahan atas dasar kepemilikan, luas, fungsi, pajak, dan lainnya.

Dengan upaya pemetaan lahan di Kota Denpasar kini dipandang sangat penting, perlu, dan sangat bermanfaat bagi perencanaan pembangunan mendatang atas dasar informasi yang valid dan benar serta mudah didapatkan informasinya. Namun, daya guna yang sangat diperlukan dalam pemetaan tersebut adalah juga untuk basis up date Rencana Tata Ruang Wilayah Kota sampai dengan turunan detailnya hingga di rencana zonasi.

Gottdiener (dalam ariefsabaruddin.wordpress.com, 2019) dalam uraiannya menyebutkan bahwa tata ruang lingkungan memiliki kandungan simbol-simbol dan tanda-tanda yang merepresentasikan pikiran-pikiran masyarakat. Ruang memiliki makna dari kehidupan dan penghidupan manusianya merupakan hal yang sangat penting.

Baca juga:  Mengurai Kemacetan di Kota Denpasar

Pandangan tersebut sejalan dengan kenyataan yang berlangsung di Kota Denpasar yang terbentuk karena tata ruang kerajaan ketika budaya agraris berjaya. Ruang adalah representasi dari masyarakat Kota Denpasar atas dasar kearifan lokalnya. Sebutlah penatatan ruang desanya yang diikat oleh adanya Kahyangan Tiga, Catus Patha sebagai titik pusat pemerintahan, setra, telajakan, dan lainnya.

Warisan masa lalu tersebut yang ingin dipertahankan melalui preservasi maupun revitalisasi akan mendukung maksud menjadikan Denpasar sebagai sebuah kota budaya. Kota yang nyaman, aman, teduh, dan indah sehingga warganya betah tinggal-bekerja hingga ajal merenggutnya. Romantisme yang dimiliki oleh Kota Denpasar sebagai kota budaya mampu membangkitkan gairah maupun kreativitas insan kota yang majemuk dan multikultur untuk mengisi pembangunan dengan kreativitas yang beridentitas.

Mengingat bahwa kota budaya juga terbentuk dari dukungan warisan yang tersebar dalam berbagai fungsi di atas lahan kota dengan beragam kepemilikan, maka upaya pemetaan adalah sebuah tindakan penting dan perlu untuk menyelamatkan aset tersebut sebagai daya tarik edukasi, pariwisata, historis, dan lainnya. Hasil pemetaan ini dapat dijadikan rujukan untuk kepemilikan sekaligus penetapan bagi aset cagar budaya yang nantinya diusulkan untuk mendapat keringanan atau pembebasan pajak bumi dan bangunan.

Upaya pemetaan lahan sangat diyakini memiliki banyak manfaat seperti bukti kepemilikan, fungsi lahan, luas, pembayaran pajak, dan lainnya juga diyakini memiliki manfaat dalam penyusunan tata ruang kota ke depan yang sangat sarat dengan kepentingan masyarakat yang terdiri dari pribadi-pribadi maupun investor agar tanah yang merupakan aset pembangunan kota dapat dikelola dengan cerdas, cermat, dan terkendali, khususnya yang berkaitan dengan sawah yang semakin rentan terhadap perubahan. Hilangnya sawah berarti hilangnya subak. Hilangnya subak dimaknai sebagai degradasi budaya agraris “air” yang merupakan inti budaya kita.

Penulis, guru besar Fakultas Teknik  Universitas Udayana

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *