Serbuan kaum urban yang ingin mengais rezeki di pusat kota, memang tak terhindarkan dan dialami hampir semua kota di dunia. Tak terkecuali Denpasar sebagai ibu kota Provinsi Bali yang kini juga sudah seperti kota metropolitan.
Masalah kependudukan pun menjadi salah satu problema kota. Termasuk Denpasar yang mengusung predikat sebagai Kota Budaya ini. Imbas berikutnya dipastikan ke permasalahan tata ruang kota dengan berbagai dampak ikutannya.
Penataan ruang kota, mungkin sudah menjadi pekerjaan latah semua pemerintahan. Namun bagi Denpasar, ini mejadi agak beda mengingat Denpasar sudah menyandang predikat Kota Budaya.
Banyak hal dan elemen yang harus mendapat perhatian, untuk menjaga jangan sampai penataan yang dilakukan malah menghilangkan budaya komunal yang melekat selama ini. Boleh saja masyarakatnya heterogen dengan ragam budaya yang dibawa, namun konsep dasar adat budaya Denpasar haruslah tetap menjadi ciri menonjol.
Ciri Denpasar sebagai Kota Budaya, tidak bisa dilepaskan dari sejarah kota ini sebagai pusat kerajaan. Karena itu, budaya komunal kota ini haruslah tetap dipertahankan di tengah gempuran budaya yang dibawa para migran.
Budaya komunal Kota Denpasar sama seperti budaya Bali pada umumnya, yakni budaya agraris yang dilandasi falsafah agama Hindu (Bali). Budaya agraris tidaklah bisa dilepaskan dari pertanian dalam arti luas dengan sistem pengairannya yang kental, yakni Subak. Pertanyaannya, masihkah Subak bisa bertahan di Denpasar?
Kenyataan menunjukkan, beberapa subak di Kota Denpasar kini hanya tinggal pura-nya saja. Contoh Subak Renon, Panjer dan lainnya, kini telah berubah menjadi kawasan perkantoran, permukiman dan perdagangan/perbelanjaan. Aliran irigasinya telah disumbat pondasi-pondasi bangunan para pengembang.
Meski mungkin tanah/lahan subaknya telah habis, semestinya tidaklah lantas diiringi hilangnya budaya setempat dan digantikan budaya kaum urban. Tradisi budaya sebagai ciri Denpasar Kota Budayaharuslah tetap lestari, meski tidak bisa dihindari akan ada akkulturasi dengan budaya para pendatang.
Tanah dan lahan budaya agraris boleh hilang, manusia sebagai pendukung utama budayanya tidaklah boleh kehilangan jati dirinya. Semasih pendukung utama kebudayaan ini bisa memelihara dan menjaga tradisinya, kebudayaannya tetap akan eksis.
Bahkan, kebudayaan yang ada bisa berkembang mengikuti dan menyesuaikan perkembangan yang ada. Yang terpenting, bagaimana pemerintah setempat menyediakan ruang bagi pemeliharaan, pengembangan dan pengekspresian budaya tersebut.
Untuk kepentingan penataan ruang ini, pemerintah berperan sangat strategis memetakan berbagai kebudayaan dengan pendukungnya (manusia/penduduk) dan wilayahnya masing-masing. Dari pemetaan yang ada, bisa disusun langkah-langkah strategis untuk “pengamanan” budaya setempat agar citra dan predikat Denpasar Kota Budaya benar-benar terlihat dan bukan sekadar wacana karena budayanya justru telah digusur budaya pendatang.
Moto “Denpasar Kotaku, Denpasar Rumahku” harus benar-benar bisa dibenamkan dalam benak sanubari setiap insan yang hidup di tanah Denpasar. Apakah itu pengusung asli budaya setempat, pembawa kebudayaan baru yakni para urban, termasuk mereka yang hanya tinggal sementara atau berkunjung ke kota ini.
Tugas membenamkan prinsip-prinsip ini, terletak pada semua warga kota ini. Untuk bisa melakukan ini, kepekaan dan kepedulian pada lingkungan sangatlah penting. Warga Denpasar tidak boleh ikut budaya cuek yang dibawa kaum urban. Warga Denpasar justru harus bisa memberi pemahaman, memberi arahan dan mengajak mereka yang datang untuk mencintai kota ini layaknya rumah mereka sendiri.
Jika masyarakat ikut-ikut budaya cuek hanya berorientasi pada kepentingan bisnis, siap-siaplah Denpasar Kota Budaya benar-benar hanya jargon dan menjadi kota metropolitan yang tanpa identitas.