DENPASAR, BALIPOST.com – Ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) XLI turut dimeriahkan parade topeng prembon oleh enam seniman bintang yang tergabung dalam Sanggar Tugek Carangsari. Duta Kabupaten Badung itu tampil memukau di hadapan penonton yang memadati Kalangan Ratna Kanda, Taman Budaya, Selasa (2/7).
Namun di balik nama besar para seniman bintang tersebut, mereka kini justru tengah berjuang melawan pembajakan. Sebelum memulai pementasan, Ketua Listibya Kabupaten Badung I Gusti Ngurah Artawan terlebih dulu memperkenalkan para seniman bintang yang akan tampil. Salah satunya, I Gusti Ngurah Windia (topeng Tugek Carangsari) yang sekaligus merupakan pimpinan sanggar.
Windia dikatakan telah aktif masesolahan sejak tahun 1970an. Kejayaan topeng Tugek Carangsari telah dikenal seantero Bali. Akan tetapi, karya-karyanya justru menjadi sasaran empuk pembajakan dan komersialisasi oleh pihak-pihak tertentu.
Terbukti dengan banyaknya dokumentasi pementasan yang beredar di masyarakat, baik dalam bentuk kaset maupun CD, tanpa adanya kompensasi bagi sang seniman. “Saya sangat sedih melihat seniman-seniman kita yang karyanya dimanfaatkan oleh orang lain tanpa sepengetahuan yang bersangkutan,” ungkapnya didampingi Sekretaris Listibya Badung, I Made Mindrawan.
Menurut Artawan, sangat sulit untuk membendung dan melarang hal tersebut. Apalagi sekarang di era digital, dokumentasi pementasan juga bisa didapat dengan mudah di media sosial. Tapi minimal, masyarakat harus mengetahui fakta ini.
Termasuk seniman lain yang ikut tergabung dalam sanggar. Sebab, pembajakan dan komersialisasi tanpa sepengetahuan seniman juga bisa menimbulkan hubungan yang tidak harmonis di internal sanggar.
Sedangkan untuk menggugat, seniman umumnya tidak paham dengan hukum dan tidak tahu pula harus menuntut kemana. Saat karyanya dibajak seperti itu, mereka lebih memilih diam dan menyerahkan kepada “hakim” alam. “Ini PR. Solusinya saya juga tidak tahu. Tapi minimal ada catatan. Di dalam ajang PKB ini, selain untuk pemberdayaan, pelestarian dan pembinaan, juga perlindungan terhadap seniman,” imbuh putra kandung I Gusti Ngurah Windia ini.
Artawan mengaku sudah memegang bukti-bukti pembajakan karya Sanggar Tugek Carangsari. Begitu pula karya seniman-seniman lain yang kemungkinan turut menjadi “korban” pembajakan dan komersialisasi tanpa sepengetahuan mereka.
Mirisnya, di salah satu CD bajakan tersebut ada foto seniman dengan peran sebagai penasar yang kini dalam keadaan sakit. Sementara CD itu diperjualbelikan tanpa ada kompensasi apapun kepada seniman bersangkutan.
Khusus di ajang PKB, enam seniman bintang sengaja dikirim menjadi duta Kabupaten Badung untuk memberikan apresiasi dan penghargaan kepada mereka. Kemudian, memacu kreativitas seniman bintang tersebut yang usianya sudah mulai tua.
Di samping menjadikan mereka sebagai tolak ukur dan referensi bagi para seniman muda. Selain Windia, ada pula Ida Bagus Gede Mambal (sesepuh seniman pedalangan, seniman topeng, dan seniman sastra di Badung), I Gusti Raka Bawa (sesepuh seniman pedalangan, tari, dan sastra dari Kuta), I Nyoman Wija Widastra (seniman arja dan topeng di Badung yang terkenal lewat grup Akah Canging), I Ketut Muada (Dalang Joblar), dan I Ketut Rudita atau Sokir (seniman muda yang terkenal lewat grup Clekontong Mas). “Kita berikan kesempatan pentas ini kan, mereka semakin energik. Hitung-hitung ngicen nak lingsir ubad,” katanya.
Diwawancara terpisah, Kasi Pelestarian dan Pengembangan Seni Dinas Kebudayaan Kabupaten Badung, I Made Widiana mengaku baru mengetahui komersialisasi dan pembajakan karya seniman ini. Namun, pihaknya berjanji akan mencarikan solusi. “Kedepannya kita akan buat perlindungan dan karya-karya itu akan kita sahkan. Apabila dibajak, seniman akan punya kekuatan hukum untuk menuntut,” ujarnya yang hadir menyaksikan duta kabupaten Badung di ajang PKB XLI tersebut bersama Kabid Kesenian Disbud Badung, Kadek Sandra Widari. (Rindra Devita/balipost)