DENPASAR, BALIPOST.com – Ketika memasuki areal Taman Budaya Bali serangkaian Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-41, kita akan melihat sejumlah sunari dan pindekan terpasang di sisi selatan. Sunari-sunari tersebut menghasilkan suara yang nyaring karena terpaan angin. Demikian pula pindekan bisa berputar karena angin.
Dikaitkan dengan tema PKB kali ini ‘’Bayu Pramana: Memuliakan Energi Angin’’, pemasangan sunari dan pindekan, tentu sangat relevan. Lalu apa makna dan fungsi sunari dalam hubungan dengan ritual keagamaan Hindu?
Dalam workshop pembuatan sunari dan pindekan di Kalangan Ayodya, Rabu (3/7), makna dan fungsi sunari dijelaskan gamblang oleh narasumber Ida Bagus Panjiarsa, S.Pd., M.Pd. yang dipandu Dr. A.A. Gde Raka. Selain itu juga dipraktikkan pembuatan sunari beserta kelengkapannya.
Menurut Ida Bagus Panjiarsa, sunari berasal dari kata su dan nari. Su artinya baik atau taksu dan nari artinya widyadara dan widyadari. Menyitir pendapat beberapa sumber, ia mengatakan, sunari atau sunar berarti sinar. Atau ada pendapat lain menyebut sunari sama dengan sundari yang artinya buluh perindu atau wanita cantik. Dalam bahasa Sansekerta, sundarigama berasal dari kata sundari yang artinya terang dan gama artinya pentunjuk atau jalan.
‘’Jadi, sunari merupakan salah satu uparengga atau pelengkap yadnya agama Hindu. Umumnya digunakan dalam upacara ngenteg linggih, ngusaba desa, ngusaba nini, pangerorasan atau mamukur, ngrasakin dan mabiukukung di sawah. Penggunaan sunari dalam upacara yadnya bertujuan agar para widyadara-widyadari atau para dewa turun dari kahyangan menyaksikan dan menganugerai kesejahteraan serta keselamatan pada upacara yang sedang berlangsung. Penggunaan sunari di sawah yakni ngarad Dewi Sri atau dewanya padi dan Dewa Rare Angon atau dewa pengembala agar padi tumbuh subur dan berhasil baik. Begitu pula terhadap ternak,’’ ujar Ida Bagus Panjiarsa.
Sunari dipasang di parahyangan bersamaan dengan upacara negtegang beras dan menstanakan Dewa Rare Angon. Dikatakan, sunari dibuat menggunakan bambu yang ruasnya panjang dan kulitnya tipis seperti bambu buluh gading. Kemudian dihiasi dengan wujud kera dibuat dengan ijuk, sebagai simbol Sang Hyang Maruti atau Hanoman (Dewa Bayu atau Dewa Angin). Kemudian diisi dengan klangsah kelabang mantri dari daun kelapa dan kain putih kuning.
Agar menghasilkan suara nyaring, ruas-ruas bambu tersebut dilubangi dengan teknik khusus. Jika diterpa angin akan menghasilkan suara. Ada tujuh lubang yang dibuat dari atas ke bawah. Lubang paling atas berbentuk segitiga sama sisi melambangkan nada atau bintang. Lubang kedua berbentuk bulat atau nol melambangkan windu.
Lubang ketiga berbetuk bulan sabit melambangkan ardha candra. Lubang keempat berbentuk tegak lurus (elu) perlambang purusa atau lingga. Lubang kelima berbentuk lubang lesung, melambangkan yoni atau predana.
Lubang selanjutnya berbentuk swastika simbol keseimbangan. Terakhir, lubang segi empat melambangkan bumi. ‘’Jadi semua lubang itu memiliki makna. Sunari adalah suatu pelengkap upacara (uparengga) yang dibuat sesuai plutuk beserta upacaranya. Terutama pada waktu upacara ngenteg linggih di parahyangan dan saat mabiukukung di sawah,’’ ujarnya.
Sementara itu, moderator Dr. A.A. Gde Raka yang akademisi Unwar Denpasar menambahkan, penggunaan bambu gading untuk sunari karena mempunyai nilai magis. Daunnya kuning kehijauan dan bambu ini tidak ada medang-nya. Menurutnya, sunari melindungi angga sarira dari kekuatan negatif.
Lubang segitiga dalam sunari simbol api (Brahma). Segi empat simbol air (Wisnu) dan bundar atau bulat simbul Siwa. Sedangkan elu simbol purusa dan lesung simbol pradana.
Karena itu workshop ini penting dalam rangka menggali nilai-nilai kearifan lokal pada zaman agraris yang memiliki makna peting bagi kehidupan. Jadi dikaitkan dengan tema PKB kali ini, workhsop sunari dan pindekan kontekstual dengan tema dan bersifat edukatif. (Subrata/balipost)