Ilustrasi. (BP/ist)

DENPASAR, BALIPOST.com – Pada tahun 2025, Bali diperkirakan akan kehabisan air tawar akibat ketiadaan air tanah yang menyebabkan air laut menembus lapisan air tanah atau yang disebut intrusi. Salah satu penyebabnya adalah berkembang pesatnya industri pariwisata yang terlalu menguntungkan.

Setiap harinya, tiga juta liter air atau sekitar 60% dari total konsumsi air di Bali digunakan untuk keperluan industri pariwisata. Jumlah itu tentu saja sangat banyak jika dibandingkan dengan konsumsi air untuk keperluan rumah tangga yang hanya 100 ribu liter setiap harinya. Air sebanyak itu diambil dari tanah. “Salah satu faktor penyebab meningkatnya kebutuhan air adalah akibat perkembangan pariwisata. Defisit air terjadi karena kebutuhan air lebih besar dari ketersediaan,” ujar Ketua PPLH Unud, Dr. I Made Sudarma, M.S., Rabu (3/7).

Hal ini diperparah dengan semakin berkurangnya lahan terbuka hijau di Bali akibat pesatnya pembangunan hotel, vila, maupun infrastruktur pendukung seperti jalan raya. Jika eksploitasi air tanah yang tinggi dibarengi dengan berkurangnya lahan terbuka hijau, maka ketersediaan air tanah akan berkurang dan menyebabkan terjadinya intrusi air laut.

Baca juga:  PTM Mulai Digelar, Menkes Jabarkan Strategi Penanganan Cegah Kluster COVID-19

Air laut akan menembus lapisan air tanah dan bercampur. “Daerah-daerah yang berpotensi terjadinya intrusi air laut adalah Denpasar Selatan termasuk Sanur,” katanya.

Sementara itu, dikatakan, daerah yang berpotensi mengalami kekeringan adalah Kabupaten Buleleng, Karangasem bagian Utara, Klungkung bagian Selatan dan Badung bagian Selatan. Namuan, kekeringan ini tidak disebabkan karena pesatnya perkembangan pariwisita, tetapi karena anomali iklim, seperti fenomena El Nino. “Tidak (bukan faktor pariwisata-red), kekeringan adalah karena pengaruh faktor iklim. Sebab, akibat perubahan iklim menjadikan musim kemarau akan lebih panjang dari musim hujan dan ini menjadi faktor penyebab kekeringan,” tegas Sudarma.

Baca juga:  Tiga Proyek Dinas PU Jadi Sorotan DPRD Tabanan

Berdasarkan kajian PPLH Unud Tahun 2019, dikatakan ketersediaan air di Bali sebanyak 4.720.888.187 m3/tahun. Tingkat ketersediaan air ini ditentukan oleh 3 faktor, yaitu curah hujan, koefisien limpasan dan luas wilayah. Sedangkan, ketersediaan air tergantung dari potensi air hujan, potensi air permukaan, dan potensi air tanah.

Dijelaskan, curah hujan rendah biasanya terjadi pada bulan Juli, Agustus (puncak terendah) dan September. Sedangkan potensi air permukaan, yaitu 4.965,2 juta m3/tahun. Potensi terbesar ada di Tabanan, yaitu sebesar 1.125,7 juta m3/tahun dan terkecil di Denpasar, yaitu 126,8 juta. Potensi cadangan air permukaan untuk 4 danau yang ada di Bali yaitu 1007,90 juta m3.

Sementara itu, potensi air tanah sebanyak 391,8 juta m3/tahun, yang terbesar ada di Tabanan. Sedangkan penggunaan air tanah terbesar untuk irigasi ada di Kabupaten Jembrana, Karangasem dan Buleleng. Pemanfatan air tanah untuk PDAM ada di Kabupaten Gianyar.

Baca juga:  Kerja Nyata Muliakan Desa Adat, Gubernur Koster Dinilai Konsisten Ajegkan Bali

Sementara itu, kebutuhan air untuk pertanian termasuk sawah mencapai 3.672 juta m3/tahun, kehutanan 1.031,20 juta/tahun, domestik 107,65 juta m3/tahun, industri 22,08 juta m3/tahun, hotel dan restoran 16,58 juta m3/tahun, fasilitas umum dan pemerintah 25,12 jt m3/tahun. Sehingga, total kebutuhan air untuk semua kebutuhan mencapai 5.396 juta m3/tahun.

“Kebutuhan air tertinggi ada di Kabupatan Buleleng, Karangasem, Tabanan, Gianyar, Badung, dan Kota Denpasar. Secara umum status daya dukung air di Bali ada dibawah 1 (defisit), yaitu 0.87. Kabupaten dengan status surplus adalah Tabanan, Bangli, Jembrana dan Karangasem. Sedangkan Kabupaten dengan status defisit, yaitu Buleleng, Gianyar, Badung, Klungkung, dan Denpasar. Namun, berdasarkan kajian P3E tahun 2016, Kabupaten yang surplus tinggal satu kabupaten, yaitu Bangli,” paparnya. (Winatha/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *