Orangtua siswa dan siswa berebut melihat pengumuman PPDB SMP di Buleleng. (BP/mud)

Oleh I Ketut Manik Asta Jaya

Pemerintah berkewajiban menjamin terselenggaranya pendidikan bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi, seperti yang tertuang pada Pasal 5 Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Upaya pemerataan sistem pendidikan nasional sesuai aturan itu, sejak beberapa tahun lalu diimplementasikan melalui kebijakan sistem zonasi pada proses penerimaan peserta didik baru (PPDB). Kebijakan ini tentu seharusnya tidak hanya tentang pemerataan peserta didik, namun juga pemerataan pada kualitas dan kuantitas tenaga pendidik.

Penerapan sistem zonasi memberi pertanyaan besar terhadap kesiapan guru pada setiap sekolah negeri. Khususnya terkait kesiapan mengedukasi berbagai macam anak didik tanpa ada diskriminasi.

Terlebih fakta yang terjadi selama ini, melalui proses PPDB sekolah negeri hanya menerima siswa dengan nilai baik, lantas mengeliminasi generasi muda bangsa yang dinilai masuk kategori bodoh. Padahal, generasi yang nilainya kurang itu justru yang membutuhkan bimbingan dan perhatian lebih agar menjadi lebih baik.

Di kalangan masyarakat, proses yang berlarut ini pun telah membentuk paradigma sekolah favorit. Sebab, sekolah negeri yang mampu menjaring bibit unggul, selanjutnya dengan mudah mengantarkan siswa tersebut menuju prestasi yang gemilang, seperti mengikuti olimpiade nasional hingga internasional, termasuk juga siswa dengan lulusan nilai ujian nasional (NUN) tertinggi.

Baca juga:  Dilema ‘’Social Commerce’’

Di balik mencuatnya sekolah favorit, dedikasi para tenaga pendidik juga tidak bisa dimungkiri. Munculnya siswa dengan segudang prestasi, tentu ada peran guru yang kreatif dan inovatif dalam mengemas berbagai strategi pembelajaran. Bahkan, banyak guru di sekolah favorit yang mencurahkan waktu di luar jam mengajar, untuk membimbing anak didik yang memiliki semangat tinggi dalam belajar.

Melihat output itu, tentu tidak salah juga bila orangtua mengklasifikasikan sekolah favorit. Sementara di sisi lain, ada sekolah negeri yang minim prestasi, meski setiap tahun mendapat anggaran yang sama dari pemerintah. Kondisi ini kerap terjadi akibat guru di sekolah yang kurang diminati itu terlalu sibuk urusan pribadi, ketimbang mencurahkan semangat mengedukasi anak didik untuk berprestasi.

Problematika ini jelas tidak bisa dibiarkan berlarut, apalagi menunggu kebijakan dari pemerintah pusat. Pemerintah daerah seharunya bisa mengambil langkah cepat, demi pemerataan kualitas pendidikan. Hal ini dapat dilakukan sebagai bentuk desentralisasi.

Menurut Onisimus (2011:98) desentralisasi adalah penyerahan sebagian kewenangan dan tugas pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk dikelola sesuai kemampuan dan potensi yang dimiliki demi meningkatkan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di daerah. Pemberian kewenangan didasarkan pada UU No. 32 Tahun 2004 khususnya pasal 14 ayat 1 huruf (f).

Baca juga:  DPRD dan Disdikpora Buleleng Tanggapi Protes Empat Prebekel

Jika sebelumnya penyelenggaraan pendidikan menjadi tanggung jawab pusat, maka dengan desentralisasi pendidikan, kabupaten/kota memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan pendidikan.

Berdasarkan aturan tersebut di atas tentu pemerintah daerah bisa mengambil langkah cepat, dalam mewujudkan pemerataan pendidikan di daerah. Salah satu langkah jitu dalam pemerataan kualitas pendidikan ini dengan mutasi tenaga pendidik. Mutasi ini untuk memeratakan guru yang kreatif dan inovatif di seluruh sekolah negeri yang ada dalam satu pemerintahan daerah.

Tentunya proses mutasi ini harus diiringi dengan verifikasi para guru terlebih dahulu oleh dinas pendidikan di daerah. Selain itu, proses mutasi ini juga tetap mempertimbangkan jarak tempat tinggal guru dengan sekolah yang perlu dibangun secara kualitas.

Selain pergeseran guru secara formal. Peningkatan kualitas manajemen sekolah juga bisa dilakukan dengan promosi jabatan guru berprestasi menjadi kepala di sekolah yang kualitasnya kurang. Tentunya hal ini berlaku untuk guru yang sudah memiliki sertifikat calon kepala (cakep) sekolah. Hal ini dilakukan agar guru tersebut bisa memperbaiki manajemen termasuk kedisiplinan guru lainnya.

Upaya ini harus segera dilakukan pemerintah demi mewujudkan pemerataan pendidikan dalam mengimbangi sistem zonasi yang sudah berjalan. Bila hal ini tidak dilakukan maka siswa yang masuk kategori bibit unggul tidak akan terarah dengan baik tanpa bimbingan tenaga pendidik berkualitas.

Baca juga:  Pandemi, Tinggalkan Sikap "Maboya"

Sementara di tangan guru yang kreatif dan inovatif, anak yang selama ini masuk kategori kurang pintar, mendapat kesempatan mengembangkan kemampuan diri yang selama ini belum digali. Sebab, guru yang baik bisa menemukan dan mengembangkan berbagai strategi pembelajaran yang dapat merangsang peserta didik untuk belajar kreatif dan inovatif.

Pemerataan dunia pendidikan tentu tidak hanya dari segi peserta didik atau tenaga pendidik, namun juga harus ada pemerataan meliputi sarana-prasarana pendidikan. Terlebih dalam beberapa daerah masih ada yang membutuhkan penambahan sekolah negeri yang baru. Hal ini harus segera dibangun untuk mengimbangi sistem zonasi saat ini dijalankan pemerintah, serta demi mewujudkan kesempatan yang sama dalam mengenyam pendidikan bagi seluruh anak bangsa.

Upaya ini juga sesuai dengan tujuan awal pendekatan zonasi dalam pelaksanaan PPDB, yakni memberikan akses setara dan berkeadilan kepada seluruh peserta didik, tanpa melihat latar belakang kemampuan ataupun perbedaan status sosial ekonomi. Kebijakan ini juga seharusnya mempu menghapus kesan sekolah favorit yang selama ini justru memicu diskriminasi.

Penulis, wartawan Bali Post

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *