Sejumlah orangtua siswa mendatangi Ombudsman Perwakilan Bali untuk mengadukan masalah PPDB tahun ini. (BP/ara)

Penerimaan siswa baru kini sedang berlangsung. Banyak riak terjadi. Sama seperti tahun lalu, masalah zonasi kembali mengemuka. Bahkan tahun ini lebih krusial. Banyak ditemukan surat domisili palsu.

Banyak warga asli yang memiliki kartu keluarga, dikalahkan dengan warga baru yang berbekal surat domisili. Persoalan inilah yang mengemuka saat dialog orangtua siswa, siswa dan Disdik Provinsi Bali di gedung wakil rakyat, Kamis (4/7) lalu.

Dalam dialog yang berlangsung cukup alot tersebut akhirnya diambil kesimpulan, akan ada solusi baru pascapengumuman Jumat (5/7). Intinya jangan sampai ada siswa yang tidak dapat sekolah karena terbelenggu zonasi. Terlebih siswa miskin dan calon siswa berkebutuhan khusus yang jumlahnya dibatasi hanya 5 persen dari jumlah siswa yang diterima.

Penerapan sistem zonasi merupakan jawaban atas persoalan pokok pendidikan di negeri ini. Ada dua hal yang menjadi sasaran pokok yaitu pemerataan pendidikan itu sendiri serta pemerataan mutu pendidikan.

Baca juga:  Fokus pada Pencapaian Prestasi

Pemerataan pendidikan lebih menyangkut pada kesempatan menikmati pendidikan dan fasilitas pendidikan yang ada. Sementara pemerataan mutu pendidikan, menyangkut kesetaraan kualitas pendidikan utamanya output lembaga pendidikan yang ada. Pemerataan kualitas pendidikan akan sulit tercapai atau terwujud manakala pemerataan (fasilitas) pendidikan sendiri belum tercapai.

Di tengah upaya mengejar pemerataan kualitas pendidikan ini, muncul sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB). Masalah radius sekolah tujuan calon peserta didik ini ramai dipergunjingkan. Ada yang menilai hal ini menimbulkan ketidakadilan, terutama bagi mereka yang berprestasi tetapi ternyata terbelenggu di zona yang tidak sesuai kualifikasinya. Di lain pihak, ada calon peserta didik yang kurang mampu dari sisi akademis maupun pembiayaan, terpaksa masuk zonasi yang tidak sesuai kemampuannya.

Bila sistem zonasi ini tujuannya agar siswa terutama dari keluarga kurang mampu bisa tertampung di sekolah negeri yang dekat dengan tempat tinggalnya, mungkin ini sebuah solusi. Bila dikaitkan dengan pemerataan kualitas pendidikan, juga bisa menjadi solusi kalau fasilitas pendidikan telah merata. Namun, akan menjadi tidak efektif bahkan hanya memperlebar jurang perbedaan kualitas pendidikan jika fasilitas pendidikan yang ada belum merata. Karena, ada kecenderungan siswa yang berprestasi atau memiliki nilai akademis bagus menjadi tidak berkembang karena persaingan di zonasinya itu-itu saja. Belum lagi jika tenaga pendidik (SDM)-nya juga belum merata. Tentu akan terjadi kesenjangan kualitas antarzona.

Baca juga:  Tim Saber Pungli Ingatkan Sekolah Soal Pungutan Pendidikan

Di satu zona yang kebetulan fasilitas dan SDM pendidikannya bagus,  kualitas output-nya akan sangat baik. Sebaliknya, di zona yang kebetulan fasilitas dan SDM-nya kurang memadai, kualitasnya akan makin turun. Apalagi jika calon peserta didik di zona tersebut kebanyakan kurang mampu baik dari prestasi, akademis maupun pembiayaan.

Kondisi ini justru akan memperlebar jurang ketidakmerataan kualitas pendidikan. Pencapaian pemerataan kualitas pendidikan pun terancam gagal. Karena itu, zonasi haruslah diimbangi dengan jalur prestasi dan akademis serta jalur keluarga kurang mampu. Artinya, mereka yang punya prestasi harusnya bisa diterima di zona mana pun.

Baca juga:  Dewan Minta Evaluasi PPDB Jalur Zonasi

Demikian halnya mereka yang punya nilai akademis bagus, bisa bersaing di zona mana pun. Sementara mereka yang dari keluarga kurang mampu, diutamakan diterima di zona yang dekat tempat tinggalnya. Tetapi, harus tetap mengutamakan yang punya prestasi dan nilai akademis bagus.

Diakui atau tidak, lembaga pendidikan akan terbebani untuk menggenjot kesetaraan kualitas peserta didiknya ini. Siswa juga akan terbebani harus bersaing. Belum lagi beban psikologis yang mungkin mereka harus tanggung. Di sinilah peran semua pemegang kebijakan untuk tidak saja berpikir realistis akademis berkeadilan, tetapi juga holistik psikologis mempertimbangkan segala hal dan kemungkinan. Jangan sampai, sistem zonasi malah menciptakan zona-zona yang memperparah jurang perbedaan kualitas pendidikan antarzona.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *