PPDB
Para orangtua murid sedang melihat pengumuman PPDB. (BP/dok)

Kisruh dalam penerapan sistem zonasi pada penerimaan peserta didik baru (PPDB) tahun 2019, menyedot perhatian publik. Bahkan, menuai protes hingga pengaduan ke Ombudsman. Banyak yang menilai penerapan sistem ini tidak adil, karena merampas hak mereka yang meraih prestasi akademik bagus untuk mengenyam pendidikan di sekolah negeri yang diinginkan.

Prestasi akademis mereka harus terempas, dikalahkan oleh mereka yang beruntung memiliki rumah dekat sekolah negeri. Sampai-sampai ada yang menyebut ‘’pinter-pinter dikalahkan jarak meter’’.

Kekisruhan PPDB sistem zonasi memunculkan diskresi kebijakan. Kuota sekolah dioptimalisasi yang berarti jumlah siswa baru yang diterima ditambah untuk tingkat SMP maupun SMA negeri. Ternyata ini memicu masalah baru, sekolah swasta terancam tidak mendapatkan siswa bahkan terancam gulung tikar. Sistem zonasi ini pun lalu diusulkan untuk dievaluasi lagi, bahkan ada yang menolak diberlakukan pada PPDB mendatang. Meski, Kemendikbud telah merevisi Permendikbud No. 51 Tahun 2018 tentang PPDB khusus terkait persentase jalur prestasi.

Baca juga:  Politik Masuk Pendidikan

Mendikbud Muhadjir Effendy menilai sistem zonasi merupakan cara terbaik untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Karena itu, pihaknya akan melanjutkan sistem zonasi ini. Sistem zonasi diharapkan secara perlahan akan menghapus dikotomi antara sekolah unggulan/favorit dan non-unggulan/non-favorit.

Untuk tujuan ini, akan dilakukan rotasi dan distribusi guru berbasis zona. Termasuk, memetakan ketersediaan jumlah sekolah negeri di seluruh Indonesia.

Sistem zonasi akan mengubah kompetisi dari antarindividu menjadi antarsekolah. Bahkan, akan terjadi persaingan antarzona dan anarpemerintah daerah. Hanya sayang, kemampuan masyarakat masing-masing zona dan masing-masing pemerintah daerah tidaklah sama.

Di Bali sebagai contoh, kemampuan masyarakat di daerah pariwisata seperti Kuta, Sanur, Nusa Dua, Ubud, tidaklah sama dengan kemampuan masyarakat di daerah lain di Bali. Demikian pula kemampuan anggaran dari Pemerintah Daerah (Pemda) Badung tidaklah sama dengan pemda lain di Bali.

Kondisi ini memicu persaingan tak seimbang antarzona maupun wilayah (daerah). Terkecuali, pemerintah (pusat) mampu memeratakan fasilitas (kemampuan) semua sekolah agar sama semua. Jika kondisi fasilitas dan dukungan terhadap sekolah di Indonesia masih seperti sekarang, penerapan sistem zonasi hanya memicu kisruh baru berkelanjutan.

Baca juga:  Ekonomi Sektor Kecil di Bali Perlu Didorong

Langkah awal yang mutlak harus dilakukan pemerintah sebelum menerapkan sistem zonasi ini secara penuh, adalah menyamaratakan fasilitas sekolah di seluruh Indonesia. Sepertinya, hal ini perlu waktu lumayan panjang dengan anggaran tidak sedikit pula.

Karena jika dikembalikan pada dukungan masyarakat zona dan pemda setempat, akan terjadi persaingan yang tidak sepadan. Kasusnya akan mirip penerapan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) jika diterapkan serentak di seluruh Tanah Air. Mengingat, belum semua sekolah memiliki fasilitas komputer/laptop dan jaringan internet memadai sebagai prasyarat UNBK.

Boleh saja pemerintah menempuh cara merotasi guru berdasarkan zonasi untuk mempercepat penerapan sistem ini. Logikanya, jika para guru sudah dilakukan sertifikasi maka otomatis tidak ada perbedaan kualifikasi di masing-masing zona.

Terlebih, sertifikasi tidak saja berujung pada peningkatan kualitas guru yang sama, tetapi juga tunjangan yang diterima. Tinggal sebaran mereka yang harus merata di semua zona. Tetapi, apalah daya dan guna guru dengan sertifikasi dan kualifikasi sama jika tanpa didukung fasilitas semacam laboratorium, alat bantu ajar dan sarana belajar mengajar lain yang kualifikasi dan standarnya sama dan merata.

Baca juga:  Mengawal Peradaban Bangsa

Tujuan sistem zonasi memang mulia, menghilangkan dikotomi dan ‘’pengkultusan’’ sekolah unggulan dan favorit yang terjadi selama ini di masyarakat. Alangkah bijak, langkah mulia dan besar ini didahului dengan penyiapan fasilitas pendidikan yang sama dan merata di seluruh negeri. Ini sekaligus menghindari kesan ada pembedaan (‘’penganaktirian’’) antarzona dan wilayah.

Sistem zonasi memang membangkitkan dan meningkatkan rasa memiliki masyarakat zona terhadap lembaga pendidikan di daerahnya. Tetapi harus diingat, rasa kepemilikan ini juga akan memicu dan memacu persaingan jor-joran yang tidak sehat antarzona dan antarwilayah jika pemerintah (pusat) belum bisa menyamaratakan fasilitas pendidikan di semua zona.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *