Direktur WALHI Bali dan Sabha Yowana Desa Adat Legian saat menyerahkan aspirasi dalam bentuk surat tertulis. Keduanya tidak lagi memberi paraf pada Peta Rencana Alokasi Ruang. (BP/istimewa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Dokumen Antara Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) rupanya masih mengalokasikan ruang untuk reklamasi Pelindo, reklamasi perluasan bandara Ngurah Rai, dan tambang pasir laut. Kendati belum berbentuk proyek, namun alokasi pemanfaatan ruang tersebut dapat menjadi indikator utama terbitnya izin.

Sementara pembahasan RZWP3K yang sudah masuk ke pasal 31 juga belum disertai Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). “Ketiga proyek itu kami lihat masih masuk dalam Dokumen Antara RZWP3K. Tadi Walhi juga telah tegas menyatakan menolak masuknya proyek-proyek tersebut dalam RZWP3K serta meminta Pokja RZWP3K untuk melibatkan masyarakat terdampak langsung,” ujar Direktur Eksekutif Walhi Bali, I Made Juli Untung Pratama usai menghadiri Konsultasi Publik Dokumen Antara RZWP3K di Wiswasabha Utama, Kantor Gubernur Bali, Kamis (11/7).

Selain itu, Untung Pratama juga sempat meminta Ketua Pokja RZWP3K agar tetap memastikan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi. Bahkan hingga dokumen tersebut ditetapkan sebagai perda dan tidak tunduk pada keinginan pihak manapun.

Termasuk kepada Menteri Kelautan dan Perikanan yang telah menerbitkan izin lokasi reklamasi Teluk Benoa. “Jika kita kembali flashback ke belakang melihat bagaimana rencana reklamasi Teluk Benoa ini terjadi, sebenarnya kan berawal dari adanya alokasi ruang untuk mereklamasi kawasan Teluk Benoa. Yang awalnya kawasan konservasi, lalu dalam Perpres 51 diubah menjadi kawasan budidaya dan dapat dilakukan reklamasi seluas 700 hektar,” imbuhnya.

Baca juga:  Dua hari, Segini Jumlah Warga Dipulangkan dari Gilimanuk

Artinya, kritik Untung Pratama, alokasi ruang adalah salah satu indikator untuk terbitnya ijin reklamasi. Inilah alasan kenapa Walhi sejak masih dalam proses perencanaan sudah menolak alokasi ruang untuk reklamasi Pelindo, reklamasi perluasan bandara Ngurah Rai, dan tambang pasir laut. Apalagi, Bali sampai saat ini belum memiliki KLHS yang wajib diperhatikan dalam penyusunan dokumen RZWP3K.

Pemerintah pun mestinya tidak berdalih melakukan perencanaan itu untuk kebutuhan pembangunan di Bali. “Kebutuhan pembangunan di Bali seperti apa yang ingin disampaikan? Terbukti dalam konsultasi publik tadi, bahwa tidak ada KLHS untuk RZWP3K. Sedangkan indikator utama untuk menjalankan RZWP3K adalah harus terbit KLHS, karena RZWP3K harus memperhatikan KLHS. Untuk mengukur pembangunan ada di KLHS,” jelasnya.

Sabha Yowana Desa Adat Legian, I Wayan Agus Rama menyayangkan Pokja RZWP3K tidak pernah melibatkan Desa Adat Legian dalam penyusunan RZWP3K. Terlebih lagi kepada generasi muda, utamanya menyangkut alokasi ruang untuk tambang pasir laut di pesisir Legian hingga Canggu dan reklamasi perluasan bandara Ngurah Rai. “Sekaa Teruna adalah ujung tombak desa adat, jadi apapun kita adalah pewaris desa adat. Kita tidak mau pantai kita menjadi abrasi. Semoga tambang pasir ini dikeluarkan dari RZWP3K,” ujarnya.

Baca juga:  Tokyo Laporkan Rekor Baru Kasus COVID-19 Harian

I Wayan Satria Prayuda dari Solidaritas Legian Peduli menyoroti alokasi ruang untuk reklamasi perluasan bandara. Mengingat, di tahun 60an dilakukan reklamasi landasan pacu Bandara Ngurah Rai. Dampaknya, terjadi abrasi yang luar biasa di Kuta.

Bahkan ada Pura yang sampai dipindah hingga tiga kali karena abrasi. “Itu baru puluhan hektar, ini rencananya 400 hektar. Bagaimana kerusakan di sepanjang pantai, abrasi, segala macam. Padahal kita menjual pariwisata pantai, bisa-bisa pantai kita rusak. Sedangkan pantai kita sakralkan, banyak upacara yang dilakukan di pantai,” ujarnya.

Diwawancara terpisah, Sekda Provinsi Bali Dewa Made Indra mengakui bila RZWP3K memang harus memperhatikan KLHS. Namun, KLHS juga harus mengakomodasi kepentingan RZWP3K. Jika dikatakan belum ada KLHS, sejatinya KLHS dan RZWP3K tengah diproses bersama-sama.

KLHS menjadi ranah Dinas Lingkungan Hidup, sedangkan RZWP3K adalah ranah Dinas Kelautan dan Perikanan. “Semuanya sedang berproses. Jadi, kalau ada pertanyaan koq belum ada KLHS, sama juga belum ada RZWP3K. Semuanya sedang berproses. Dalam proses ini, saya melihat dua dokumen ini masih membutuhkan sinkronisasi,” ujarnya.

Kepala Seksi Direktorat Pencegahan Dampak Lingkungan Kebijakan Wilayah dan Sektor, KLHK, Krisna Kumar mengaku belum pernah mendapat laporan dari Bali terkait proses penyusunan KLHS untuk RZWP3K. Sedangkan saat ini pembahasan RZWP3K sudah masuk ke pasal 31. “Kalaupun mau dikerjakan, kayaknya mesti kerja sangat keras karena pasal 31 itu sudah dekat dengan proses legalisasi di DPRD,” ujarnya.

Baca juga:  Pembinaan Gencar, Pelanggaran Parkir di Badan Jalan di Kuta Selatan Mulai Berkurang

Wakil Asdep Lingkungan dan Kebencanaan Maritim, Kemenko Maritim, Nurul mengatakan, pemerintah membangun harus melibatkan rakyat. Jangan sampai Bali habis untuk investor, terutama investor asing. “Seperti saya lihat di Jalan Kartika, semuanya sudah mall, tidak tahu itu masyarakatnya udah tersisihkan dimana. Itu mungkin agak mengenaskan, jadi masyarakat Bali ini harus yang berkuasa di Bali,” ujarnya.

Peserta konsultasi publik awalnya diminta memberi paraf pada 22 peta rencana alokasi ruang yang digelar di lantai Wiswasabha. Kasubdit Zonasi Daerah Perencanaan Ruang Laut Ditjen Pengelolaan Ruang Laut, KKP, Krisna Samudra menyebut paraf sebagai “aspirasi” bahwa peta tersebut sudah tepat. Jika tidak, tinggal dicoret dan diberi paraf juga dimana titik benarnya.

Ketika Walhi Bali hendak menyampaikan aspirasi secara lisan dan tertulis, Krisna Samudra awalnya hanya ingin menerima aspirasi secara tertulis saja. Bahkan ia langsung berjalan mendekati Direktur Walhi Bali. “Saya akan langsung menerima surat dari Walhi, bukan dari Bali,” katanya meski kemudian ia akhirnya mengakomodir Walhi untuk menyampaikan pula secara lisan. (Rindra Devita/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *