Petani sedang bekerja di sawah. (BP/dok)

Sudah menjadi kenyataan bahwa menjadi petani itu menderita di Indonesia. Pekerjaan yang penuh tantangan, mulai dari menanam padi sampai dengan memasarkan gabah. Hasil yang didapatkan pada akhirnya membikin frustrasi.

Makanya tak salah, banyak generasi milenial enggan bertani. Mereka lebih memilih menjadi pekerja di kapal pesiar. Bahkan jadi buruh bangunan. Alasannya, hasilnya lebih pasti.

Dalam kasus di Bali, persoalan petani sebenarnya tidak begitu rumit, kalau ada sinergi dengan sektor lainnya. Bali mempunyai industri perhotelan yang begitu banyak, dengan turis yang jumlahnya jutaan. Jika ditangani secara benar, profesional dan berkeadilan, tidak ada alasan harga produk pertanian anjlok. Sebab, akan terserap hotel yang jumlahnya ribuan.

Namun faktanya, banyak petani yang mengeluh kesulitan menembus pasar di sektor perhotelan. Demikian pula apabila menyasar pasar swalayan. Ada persyaratan khusus yang sering sulit dipenuhi oleh petani. Belum lagi cara pembayarannya yang tidak langsung. Biasanya, petani perlu menunggu tiga bulan untuk memdapatkan uang dari pasar modern yang kini bertebaran di Bali.

Baca juga:  Wajar, Pusat Biayai Pelestarian Budaya Bali

Permasalahan ini sebenarnya sudah didengar oleh Gubernur Bali Wayan Koster. Menyusul diterbitkannya Pergub buah lokal. Namun, harus diakui hal tersebut belum sepenuhnya terealisasi. Sekali lagi, intervensi pemerintah untuk membantu petani memasarkan produknya di daerahnya sendiri harus dilakukan. Tidaklah adil kalau petani di Bali tidak mendapatkan pasar layak di daerahnya sendiri. Terbukanya alur perdagangan yang adil secara langsung akan membuka minat bagi masyarakat untuk terjun di bidang pertanian dan perkebunan.

Regenerasi petani menjadi isu strategis belakangan ini. Isu ini tentu akan menjadi hal yang sangat mengkhawatirkan bagi Bali jika tak segera dicarikan solusi. Untuk itulah, Bali harus segera bergerak menyelamatkan pertaniannya. Tantangan ini juga akan terasa berat ketika keberpihakan tak dibangun sedini mungkin. Bahkan, jika abai terhadap pertanian Bali bukan hanya ketersediaan pangan yang menjadi ancaman, pelestarian budaya tradisi dan hancurnya tata kelola ruang di Bali juga akan makin terbuka. Maka sangatlah relevan jika ke depan, kita mulai melakukan langkah strategis melakukan upaya proteksi terhadap lahan pertanian Bali.

Baca juga:  Peran UMKM dalam Pemberdayaan Ekonomi

Selama ini, optimalisasi pengelolaan pertanian Bali cenderung hanya nikmat di tataran wacana. Bahkan, politisasi terhadap isu-isu pertanian juga sering dilakukan.

Indikator nyata dari keterpurukan pengelolaan sektor pertanian adalah makin menyusutnya lahan pertanian dan cadangan air irigasi menipis. Bisnis air kemasan dengan menggunakan sumber mata air dan air bawah tanah (ABT) justru marak. Air irigasi juga mulai dikelola untuk melayani air bagi pengembangan permukiman baru yang dikelola oleh pengembang. Realita ini tentu merupakan efek dari laju pertumbuhan penduduk Bali dan makin terbukanya Bali sebagai daerah tujuan wisata.

Baca juga:  Membangun Kesadaran Membayar Pajak

Kini, saat pariwisata berbasis pedesaan juga menguat di Bali, potensi tergerusnya lahan pertanian juga menguat. Ini layak dicermati bersama. Banyak wisata desa yang menjadikan lahan pertanian sebagai objek dan pengembangannya membutuhkan fasilitas.

Kondisi ini akhirnya membuat lahan pertanian harus dikorbankan untuk parkir, fasilitas pembangunan wisata desa, serta untuk fasilitas penunjang lainnya. Untuk itulah harus ada kajian yang matang untuk menentukan kelayakan suatu desa dikembangkan menjadi wisata desa.

Jangan mengejar target terbentuknya wisata desa tanpa melakukan pengawalan yang jelas. Kualitas wisata desa hendaknya memerhatikan aspek-aspek lingkungan. Jangan sampai program pengembangan wisata desa ini justru menghancurkan tata kelola sektor pertanian dan membuat generasi muda menjauh dari pertanian.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *