DENPASAR BALIPOST.com – Bali tidak sedang baik-baik saja. Kawasan hulu berupa hutan dan danau yang menjadi sumber mata air mengalami eksploitasi sangat tinggi, sehingga nyaris rusak parah. Ironisnya penegakan hukum dan program recovery menjaga kelestarian hutan sangatlah lemah.
Menurut Ketua Puslit PPLH Unud Dr. Made Sudarma, MS, penegakan hukum terkait kelestarian lingkungan harus lebih keras. Pemerintah jangan permisif terhadap pelanggaran tata ruang. Rancangan RTRW juga jangan sampai membiarkan terjadinya kerusakan ekosistem.
Menurut Sudarma, hutan, sumber mata air (danau) dan daerah aliran sungai (DAS), terutama yang posisinya terletak di hulu Bali kini semakin tereksploitasi. Hutan dan Danau Tamblingan di Kabupaten Buleleng, misalnya. Sebagai salah satu kawasan resapan air dan sumber mata air di Bali, hutan dan Danau Tamblingan, termasuk DAS-nya kini dalam kondisi memprihatinkan. Sementara di sisi lain, program recovery tak sebanding dengan kerusakan yang telah terjadi.
Menurut Sudarma, bukti tidak kuat program recovery adalah pada musim hujan air sungai keruh. Sungai keruh karena ada tanah masuk ke dalam aliran sungai dan menjadi pertanda telah terjadi longsor atau erosi.
Ini bukti tanah tidak lagi dipegang akar pohon karena tanamannya diganti tanaman musiman yang tidak kuat menjaga tanah. Misalnya, daerah hulu yang semula ditanami pohon kopi, diganti tanaman musiman, seperti jeruk. Padahal jeruk bukan tanaman yang bagus untuk memegang tanah.
Untuk menjaga sungai dan DAS, teknologi saja tidak cukup. Penegakan aturan tata ruang harus diperkuat. Sudarma menegaskan, agar pemerintah jangan permisif terhadap pelanggaran tata ruang, sebab kondisi lingkungan sudah sedemikian mengkhawatirkan. “Rancangan perubahan RTRW Bali jangan sampai merusak ekosistem daerah hulu hanya untuk pengembangn pariwisata, namun diperlukan penerapan aturan atau instrumen baru, yaitu kompensasi imbal jasa lingkungan,” tandasnya.
Menurut Sudarma, mereka yang memanfaatkan jasa lingkungan, seperti air, kesejukan atau keindahan lanskap perlu membayar lewat mekanisme pembayaran jasa lingkungan. Kompensasi tersebut akan dikembalikan sepenuhnya untuk menjaga lingkungan. Sehingga hal ini sejalan dengan PP Nomor 46/2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup.
“Jaga dan lestarikan daerah hulu sebagai catchment area, daerah tangkapan air hujan. Untuk itu, ekosistem hutan dan DAS harus dijaga, jangan dieksploitasi untuk peruntukan fasilitas yang menyebabkan ruang terbuka semakin berkurang,” tegas Sudarma.
Persoalan lain, terjadinya perubahan iklim. Perubahan iklim memang tidak bisa dihindari. Yang bisa dilakukan adalah mitigasi dan adaptasi.
Contoh perubahan iklim adalah frekuensi hujan berkurang, namun intensitasnya tinggi. Sekali hujan besar, menyebabkan banjir lantaran air meluncur begitu saja di atas permukaan, tidak terserap oleh akar pohon. Dalam hal ini, Sudarma menekankan pentingnya pemanfaatan teknologi konservasi. Pengembalian fungsi hutan dan daerah resapan dengan teknologi konservasi perlu lebih gencar dilakukan. (Winatha/balipost)