Oleh Briliana Wellyanti
Berita tentang penyelewengan dana desa makin marak belakangan ini. Aparat desa terkesan sangat berani menyalahgunakan dana desa yang sebenarnya ditujukan untuk memakmurkan desa agar ketimpangan antardesa kian menyempit. Berdasarkan data ICW, tercatat 96 kepala desa yang terseret kasus korupsi dana desa selama tahun 2018.
Kerugian negara pun tak tanggung-tanggung mencapai Rp 37,2 miliar. Pengawasan dan transparansi yang kurang, serta kapasitas aparat desa yang tidak maksimal menjadi salah satu penyebab penyelewengan ini. Lantas, apakah dana desa benar-benar dapat memakmurkan desa sebagaimana yang terukir di dalam “Nawacita”? ‘’Nawacita’’ adalah sembilan program pembangunan yang dicanangkan Joko Widodo yang bertujuan untuk menunjukkan prioritas jalan perubahan menuju Indonesia yang berdaulat secara politik, serta mandiri dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Di antara kesembilan program tersebut, salah satunya adalah “Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah daerah dan desa dalam kerangka NKRI”. Sejarah pemberian dana desa berangkat dari keinginan pemerintah pusat ini untuk mewujudkan pemerataan di wilayah sampai ke level desa.
Dikutip dari website Kemenkeu, sasaran dana desa diprioritaskan untuk pembangunan dan pemberdayaan masyarakat yakni meningkatkan pelayanan publik di desa, mengentaskan kemiskinan, memajukan perekonomian masyarakat, mengatasi kesenjangan antardesa dan memperkuat masyarakat desa sebagai subjek dari pembangunan.
Desa dapat diartikan sebagai representasi dari kesatuan masyarakat hukum terkecil yang telah ada dan tumbuh berkembang seiring dengan sejarah kehidupan masyarakat Indonesia dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari tatanan kehidupan bangsa.
Kebijakan penataan dan pengaturan mengenai desa diwujudkan dengan lahirnya Undang-undang No. 6 tahun 2014 tentang Desa. UU ini juga sebagai dasar pemberian dana desa. Menurut UU ini, Dana Desa diartikan sebagai dana yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang diperuntukkan bagi desa yang ditransfer melalui APBD dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan masyarakat dan kemasyarakatan.
Pada APBN 2019, pemerintah pusat mengalokasikan dana desa senilai Rp 630 miliar untuk seluruh desa di Bali. Nilai ini meningkat 18,65 persen jika dibandingkan dengan tahun 2018 yang hanya Rp 531 miliar. Jika dibandingkan dengan besaran dana desa di tahun 2015, maka dana desa tahun ini mengalami kenaikan yang cukup fantastis yakni hampir 3 kali lipatnya dari sebelumnya yang hanya Rp 185 miliar. Jika dana desa Rp 630 miliar dan jumlah desa di Bali tercatat 636 desa maka secara rata-rata masing-masing desa di Bali mendapatkan dana desa hampir Rp 1 miliar pada tahun 2019.
Sejak awal dikucurkan pada tahun 2015 sampai dengan saat ini, total dana desa yang sudah digelontorkan pemerintah pusat untuk seluruh desa di Bali sebesar Rp 2,3 triliun. Lantas setelah kurang lebih tiga tahun berjalan, apakah dana desa telah efektif membangun desa?
Cara untuk mengukur efektivitas dana desa dapat dilihat melalui perbandingan pertumbuhan kesejahteraan masyarakat sebelum dan sesudah dana desa dikucurkan. Indikator kesejahteraan yang akan digunakan antara lain jumlah desa tertinggal, angka kemiskinan desa, dan ketimpangan pendapatan antarpenduduk desa.
Indikator jumlah desa tertinggal didapat dari data PODES yang dirilis oleh BPS. Pengategorian desa didasarkan pada IPD (Indeks Pembangunan Desa) yang mencakup beberapa indikator ekonomi maupun budaya. Hasil PODES mencatat bahwa pada tahun 2014 (sebelum dana desa dikucurkan) Bali memiliki 6 desa tertinggal, 530 desa berkembang, dan 100 desa maju. Sedangkan kondisi tahun 2018 (setelah dana desa dikucurkan), seluruh desa di Bali sudah bebas dari predikat “desa tertinggal”, yang tersisa hanyalah desa berkembang 460 desa dan desa maju 176 desa.
Penurunan jumlah desa tertinggal selama kurun waktu empat tahun ini merupakan salah satu bukti dana desa telah digunakan efektif oleh desa untuk mengangkat derajat dari desa tertinggal menjadi desa berkembang dan desa maju.
Sementara itu, dari sisi indikator kemiskinan, efektivitas dana desa dapat dilihat dari perbandingan angka kemiskinan sebelum dan setelah dana desa dikucurkan. Angka kemiskinan yang digunakan adalah angka kemiskinan level pedesaan. Angka kemiskinan level pedesaan adalah angka yang menggambarkan jumlah penduduk yang pengeluarannya di bawah garis kemiskinan desa.
Berdasarkan data BPS. jumlah penduduk miskin pedesaan di Bali pada tahun 2014 (sebelum adanya dana desa) sebanyak 86 ribu jiwa atau 5,39 persen. Angka ini menurun jika dibandingkan kondisi tahun 2018 atau kondisi setelah dana desa dikucurkan. Jumlah penduduk miskin pada tahun 2018 hanya tersisa 69 ribu orang saja atau 5,08 persen. Hal ini membuktikan adanya keberhasilan/efektivitas penggunaan dana desa dalam menurunkan jumlah penduduk miskin 17 ribu jiwa selama kurun waktu empat tahun.
Selain melalui indikator jumlah desa tertinggal dan kemiskinan, efektivitas dana desa juga dapat diukur melalui indikator ketimpangan, yaitu dengan rasio gini. Nilai rasio gini berkisar antara 0-1.
Semakin tinggi nilai rasio gini menunjukkan ketimpangan yang semakin tinggi. Sebelum bergulirnya dana desa (September 2014), BPS mencatat rasio gini Bali di level pedesaan sebesar 0,337. Sedangkan setelah bergulirnya dana desa (September 2018), angka rasio gini menurun menjadi 0,310. Hal ini menunjukkan bahwa setelah dana desa bergulir, kesenjangan pendapatan masyarakat semakin berkurang. Dari sisi ketimpangan, program dana desa menunjukkan efektivitas yang lebih baik bila dibandingkan dengan sebelum program tersebut bergulir.
Jadi, meskipun masih menuai kontroversi terhadap penggunaannya, dana desa terbukti efektif dalam mendongkrak tiga indikator kesejahteraan di Bali. Langkah selanjutnya adalah bagaimana pemerintah melakukan pengawasan dan transparansi yang lebih terhadap penggunaan dana desa ini. Selain itu, pemerintah daerah harus fokus terhadap peningkatan kapasitas aparat desa.
Penulis, ASN di BPS Kabupaten Karangasem