Oleh Putu Rumawan Salain
Konsep dunia pendidikan adalah objektif, jujur, adil, merata, terjangkau, berkualitas dan lainnya yang berkaitan dengan etika dan integritas. Sedikit saja ada permasalahan di antaranya akan menurunkan kredibilitas dunia pendidikan atau mencorengnya. Contohnya yang diributkan akhir-akhir ini adalah persoalan penerimaan peserta didik baru (PPDB) dengan sistem zonasi, dan lainnya.
Di sisi lainnya terbiasa menyatakan sekolah serbabisa dan mampu untuk mengajarkan sesuatu yang dipandang diperlukan dengan segera ditangani melalui pendidikan. Misalnya masalah etika, masalah lingkungan, bencana, kesehatan lingkungan, dan lain-lainnya. Dengan kata lain, sekolah bagaikan keranjang sampah atau institusi pemadam kebakaran.
Dua posisi bagaikan kutub utara dan selatan yang tarik-menarik tidak pernah berakhir, seolah-olah dipelihara menjadi kepentingan politik dan komoditas atau mungkin juga sebagai pencitraan? Tidak salah kiranya jika masyarakat berpendapat bahwa dunia pendidikan selalu diwarnai dengan ganti menteri ganti program. Jika demikian adanya, artinya kita tidak memiliki cetak biru pendidikan nasional yang diamanatkan oleh Undang-undang Sisdiknas.
Agak menarik untuk diungkapkan bahwa PPDB dengan sistem zonasi yang ditetapkan peraturannya oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yaitu 90% jalur zonasi yang mengacu pada jarak lokasi rumah ke sekolah (termasuk siswa disabilitas dan miskin), 5% perpindahan, dan 5% jalur prestasi. Sepertinya pemerintah menegaskan bahwa sistem zonasi tahun 2019 akan menjawab persoalan tahun 2018 yang lalu.
Nyatanya eksekutif maupun yudikatif dibuat sibuk dan jangan-jangan akan terjadi seperti tahun lalu yaitu adanya Peraturan Gubernur sehingga jumlah siswa dalam rombongan belajar yang ditetapkan dilanggar, bahkan sampai ada sekolah yang menambah ruang kelas atau mengubah ruang yang bukan kelas dijadikan kelas.
Jika ini terjadi lagi, terlihat bahwa lembaga pendidikan yang namanya sekolah, khususnya yang negeri telah dijadikan arena politik “kekuasaan” yang sejatinya telah melakukan kepalsuan terhadap anak didik, guru, tenaga kependidikan, maupun masyarakat luas. Dikhawatirkan suatu saat akan terbukti bahwa hanya anak-anak yang orang tuanya beruang, berkuasa, berpengaruhlah yang dapat melanjutkan pendidikan anaknya, bahkan sering di antaranya memilih sekolah yang unggul.
Tampaknya segala peraturan yang ditetapkan tinggal peraturan, karena apa pun yang ditetapkan selalu ada cara untuk memperdayainya. Contoh, persoalan domisili yang dikaitkan dengan jarak ke sekolah disiasati dengan membuat domisili baru di luar KK yang muaranya akan mengurangi kuota anak yang diterima di sekolah tersebut yang justru berdomisili di lingkungan sekolah.
Segala perbuatan yang dilakukan untuk memperoleh kesempatan bersekolah tersebut di atas sepertinya akan mengoyak sendi-sendi kepercayaan mereka pada institusi pendidikan sebagai lembaga ideal membentuk insan berkualitas. Menurunkan kualitas anak didik sekaligus sekolah karena kelebihan daya tampung maupun daya dukung kelas.
Demikian pula terhadap kemampuan guru untuk mengajar dan membimbing jumlah siswa yang melebihi kapasitas ataupun juga karena rombongan belajar yang bertambah. Apalagi ada keinginan untuk menjadikan sekolah-sekolah double shift.
Dapat dipahami bahwa sistem zonasi ini oleh pemerintah dimaksudkan untuk memupus sekolah favorit ataupun kastanisasi sekolah. Zonasi dipandang sebagai sebuah sistem yang menjawab kehendak inti dari Undang-undang Sisdiknas yaitu tentang pemerataan dan kemudahan akses bagi masyarakat untuk mengikuti segala jenjang pendidikan.
Konsepnya tidak ada anak yang tidak bersekolah, sehingga mereka memiliki bekal dasar minimal membaca, menulis, dan menghitung (ingat Wajar 9 dan wacana 12 tahun).
Inti persoalan tentang kekisruhan PPDB dengan sistem zonasi adalah berada pada titik perencanaan. Artinya, perencanaan dimaksud wajib dirancang sesuai dengan data keberadaan dan kebutuhan sekolah di setiap jenjang atas dasar usia dan lokasinya dalam suatu wilayah kabupaten/kota.
Dalam Perencanaan Tata Ruang Kota setiap jenjang sekolah dibangun atas standar Soefaat yang dilandasi oleh kepadatan penduduknya. Dengan memerhatikan data-data dasar tersebut seharusnya pemerintah sudah mengetahui kebutuhan sekolah mendatang. Nyatanya jumlah sekolah yang telah dibangun oleh pemerintah termasuk lambat.
Sekitar tahun 1965, jumlah SMP negeri di Badung “Denpasar” hanya 2 buah, SMA negerinya juga ada dua sampai tahun 1967. Kini pada tahun 2019 jumlah SMP Negeri ada 12 (mau 13) dan SMA negerinya 8 buah dan SMK negeri 5 buah.
Kekurangan daya tampung ini diisi oleh pihak swasta, untuk tingkat SD ada 57 buah, setara SMP ada 49. SMA sejumlah 26, dan SMK 24 buah (data tahun 2012). Data jumlah sekolah swasta ini tentu dapat bertambah atau berkurang seiring dengan situasi yang dihadapi.
Mari kita bayangkan bersama jika sekolah-sekolah swasta dengan berbagai jenjang yang ada, ke mana anak didik kita di Kota Denpasar ini akan melangsungkan dan melanjutkan pendidikannya? Lalu, pertanyaan berikutnya, kenapa orang tua bersikeras ingin dan butuh anaknya bersekolah di sekolah negeri?
Dua pertanyaan ini diawali dengan jawaban bahwa para orang tua memandang sekolah swasta adalah sekolah mahal dan kurang berkualitas? Benarkah? Jika benar di mana letak pembinaan oleh pemerintah agar kualitas dan biayanya bisa terjangkau?
Untuk itu, perlu dilakukan akreditasi sekolah-sekolah swasta dimaksud, kemudian disosialisasikan dan diinformasikan ke masyarakat luas. Yang tidak kalah pentingnya adalah bantuan tenaga guru yang berkualitas sampai dengan manajemen yang baik untuk mengangkat harkat dan nilai kualitas sekolah swasta. Sampai saat ini, tampaknya bahwa sekolah swasta menerima siswa sisa ayakan yang diterima di negeri “anak tiri”.
Kondisi ini tidak berlaku bagi sekolah-sekolah swasta di tanah air yang telah memiliki kualitas dan kualifikasi di atas sekolah swasta lainnya bahkan mungkin juga sekolah negeri. Sekolah-sekolah tersebut tidak pernah diributkan oleh PPDB maupun ujian nasional, karena mereka memiliki regulasi ketat sesuai dengan visi dan misi pemiliknya.
Sistem zonasi akan berlangsung dengan baik jika semua sekolah negeri melengkapi dirinya dengan tenaga guru yang memiliki kualitas dan kuantitas yang sama disertai dukungan infrastruktur sekolah yang sama seperti yang ditetapkan pada 8 Standar Nasional Pendidikan. Di samping itu, hendaknya ada kemauan dari masyarakat untuk mendukung segala aturan yang diterapkan pemerintah untuk memudahkan akses dan pemerataan kesempatan mengikuti pendidikan.
Untuk itu, saran tindak yang perlu dilakukan mendatang agar dunia pendidikan nasional tidak tercoreng lagi antara lain dengan tindakan menyusun: 1). Blue print pendidikan nasional dengan memberikan kesempatan atau ruang pada warna lokal dan atas daya dukung dan daya tampung, 2). Meningkatkan biaya pendidikan atau mengoptimalkan dana 20% dari APBN untuk membangun sekolah, 3). Melakukan akreditasi terhadap seluruh sekolah negeri dan swasta dan mengumumkan hasilnya secara luas kepada masyarakat, 4). Membuat dan menyebarkan peta potensi sekolah negeri dan swasta, 5). Mengoptimalkan peran sekolah swasta dari sisi administrasi dan manajemen termasuk memberikan subsidi berupa BOS dan atau BOSDA, maupun dana CSR atau lainnya bagi yang memenuhi kualitas dan kualifikasi yang disepakati, 6). Meningkatkan jumlah dan mutu guru, baik sekolah swasta maupun negeri, 7). Ada upaya pendekatan untuk menegerikan sekolah swasta, 8). Tidak mengizinkan penggunaan surat domisili kecuali bagi siswa pindahan yang persentasenya sudah ditetapkan, 9). Mengusulkan agar nilai rata-rata rapor dan nilai ujian nasional memperoleh persentase dalam sistem zonasi, dipandang sebagai prestasi akademik, 10). Persoalan pendidikan tidak bisa dan tidak lazim dikotak-kotakkan antara provinsi dan kota/kabupaten, atau swasta dengan negeri, persoalan pendidikan adalah permasalahan yang harus dihadapi bersama secara berkelanjutan dan berkesinambungan, 11). Ada baiknya segera disusun Perda Pendidikan yang mengatur pemajuan pendidikan di masing-masing kabupaten/kota dan Provinsi Bali.
Demikian catatan singkat tentang beberapa permasalahan yang berkaitan dengan eksistensi pendidikan yang wajib kita bangun menjadi institusi yang dapat dipercaya dan bukan diperdaya oleh pragmatisme sesaat yang memudarkan impian para peserta didik generasi emas pada era revolusi 4,0. Selamat berjuang, mari kita perangi kebodohan dan pembodohan, apalagi dibodohi.
Penulis, Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Udayana