Model Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2019 disebut paling amburadul. Berbagai kelemahan ini dimanfaatkan oleh mereka yang berkepentingan. Masyarakatlah yang menjadi korban, sekaligus menjadi kelinci percobaaan.
Ketika Mendikbud dipegang oleh Moh. Nuh dan Anies Baswedan, sekolah di Tanah Air dan masyarakat sudah terkondisikan dengan upaya bersaing dengan sehat melalui Nilai Ujian Nasional (NUN). Bahkan peraih NUN tertinggi pun diapresiasi pemerintah dengan memberikan insentif diterima di PTN pilihan dan SMA-SMK pilihannya. Namun sejak Mendikbud dijabat Muhadjir Effendi dua tahun lalu sudah mulai mengubah menjadi jalur zonasi.
Kita ingat akibat kebijakan ini gerbang pintu SMAN 6 Denpasar digembok warga dan warga sekitar Monang-maning bersitegang dengan kasek dan komite soal alat ukur kedekatan jarak. Tetap saja sistem ini dilanjutkan. Kini, Gubernur Bali Wayan Koster pun melontarkan sistem zonasi yang diatur dalam Permendikud soal PPDB 2019.
Denpasar juga tak bersih dari praktik kotor. Ini berawal dari kegagalan sistem menerima pendaftaran peserta didik lewat token dan online yang dikelola Telkom. Kegagalan kedua, saat pendaftaran jalur kawasan juga ditolak oleh sistem Telkom yang tak memberi peluang bagi pendaftar di kategori jarak ikut serta. Akhirnya PPDB bentuk lain (NUN) muncul dengan banyaknya selundupan.
Di tingkat Provinsi Bali (SMA-SMK) juga demikian. Anggota DPRD Bali belum apa-apa sudah mendesak Gubernur keluarkan SE guna menampung banyak siswa yang tercecer. SE pun keluar dan juga banyak didomplengi kepentingan oknum DPRD.
Namun menariknya, konon PPDB sengaja dibuat kisruh kali ini karena kepentingan oknum anggota DPRD tak tersalurkan. SE dan apa pun bentuknya juga rawan dibonceng oleh kepentingan kasek dan guru toh demi alasan anak bangsa.
Maka jadilah jumlah tambahan siswa di SE tak sesuai dengan di lapangan alias sangat membengkak. Nah, siapa yang disalahkan. Kenyataannya, sehabis tahun politik, jelas ada politik balas budi oknum dewan untuk konstituennya.
Ombudsman menilai ketersediaan informasi secara daring atau online belum tersedia secara transparan. Kedua, sejumlah oknum sekolah dengan sengaja telah memetakan daftar siswa yang menjadi prioritas.
Karena itu, banyak siswa yang tidak masuk prioritas harus menunggu atau ngantre dan bahkan tidak bisa masuk sekolah tersebut. Mereka (yang prioritas) datang ke sekolah hanya memverifikasi nama.
Sebab, namanya sudah ada di dalam peta itu. Masalah ketiga, tidak jelasnya peraturan pemerintah dalam menentukan kriteria berprestasi. Selain itu, Ombudsman menyebut pemerintah seolah melakukan pembiaran terhadap antrean orangtua.
Jika mau jujur model PPDB dengan nilai UN paling bersih. Kita lihat saja aturan sebelumnya, jumlah siswa jalur prestasi mencapai 20 persen, siswa miskin ditampung, termasuk pindahan. Katanya kita mau membentuk SDM berdaya saing tinggi, sementara mencari sekolah saja tak pernah diajak bersaing dengan prestasi.
Guru-guru akan sulit memotivasi siswa belajar keras, toh hasilnya tak dipakai. Yang enak adalah oknum anggota dewan yang bisa menggunakan jurus ‘’ribut’’ untuk memasukkan konstituennya. Yang rugi adalah sekolah swasta karena kekeringan siswa. Lalu siapa yang mau peduli dengan nasib guru dan karyawannya?