NEGARA, BALIPOST.com – Menjelang hari raya, sejumlah kebutuhan pokok mengalami kenaikan termasuk telur ayam. Namun, di beberapa pedagang harga telur yang saat ini berkisar Rp 1.250 per butir dijual lebih murah yaitu Rp 900 hingga Rp 1.000 per butir. Setelah ditelusuri, telur ayam ini ternyata berbeda dan diduga sudah tidak layak dikonsumsi.
Dari informasi, telur-telur yang di kulitnya tertera tulisan angka tanggal yang sudah lewat ini beredar dan dijual bebas. Menurut pedagang dan pembeli, telur ini disinyalir merupakan telur sisa atau telur gagal menetas, sehingga harga jualnya lebih murah.
Beredarnya telur afkiran di pasaran mengundang protes dari kalangan peternak ayam petelur di Jembrana. Seperti yang diungkapkan I Gusti Ketut Subali akhir pekan lalu, beredarnya telur afkir merusak harga karena dijual jauh dari harga sebenarnya. Yang paling terdampak adalah peternak yang memproduksi telur-telur ayam seperti dirinya. “Sekarang kami didesak dengan mahalnya harga pakan. Ditambah lagi harga jual telur diserang dengan telur putih (sebutan warga untuk telur ini),” ujar Subali yang menernakkan 600 ekor ayam.
Para peternak berharap dinas terkait mengecek telur afkiran yang beredar di pasaran dan terbukti telah merusak harga. Harus dipastikan apakah telur-telur tersebut masih layak dikonsumsi atau tidak. “Kami berharap pihak terkait mengecek ini. Apakah boleh telur itu dijual untuk konsumsi,” kilahnya.
Sementara itu, beberapa warga yang membeli telur putih atau afkiran sempat membuktikan dengan membandingkan dengan telur dari peternak. Ketika dipecah dan dituangkan ke atas piring fisiknya berbeda. Telur putih terlihat kuningnya langsung pecah, sedangkan telur produksi peternak terlihat utuh (kuning telur). Baunya juga berbeda jauh. Telur afkiran terasa amis bercampur busuk.
Hasil penelusuran di salah satu pedagang yang menjual telur afkiran memang harganya lebih murah. NWN, salah seorang pedagang telur, mengungkapkan telur jenis tersebut dijual seharga Rp 1.000 per butirnya. Menurutnya, telur itu merupakan telur afkir dari salah satu pabrik produksi telur di Jembrana. “Tapi jarang yang pakai telur ini, karena rasanya berbeda,” ujarnya. (Surya Dharma/balipost)