DENPASAR, BALIPOST.com – Pertanian di Bali belum memberikan kontribusi tinggi kepada produsennya yaitu petani. Harga komoditi pertanian juga rawan terjadi fluktuasi sehingga merugikan konsumen. Pelaksanaan Pergub Bali Nomor 99 Tahun 2018 dinilai akan meningkatkan Nilai Tukar Petani (NTP) dan Nilai Tukar Usaha Petani (NTUP).
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa NTP dan NTUP pada Juni 2019 yaitu 103,58 (naik 0,20 persen mtm) dan 111,72 (turun 0,11 persen mtm), NTP dan NTUP pada Mei 2019 yaitu 103,37 (turun 0,07 persen mtm) dan NTUP 111,83 (turun 0,42 persen mtm), NTP dan NTUP April 2019 yaitu 103,45 (turun 0,66 persen mtm) dan 112,30 (turun 0,08 persen mtm).
Dari gambaran NTP dan NTUP itu, nilainya masih di atas 100 yang menunjukkan petani belum mengalami kerugian dalam usaha bertaninya. Namun, jika dibedah lebih dalam per subsektornya, akan tampak subsektor–subsektor yang nilainya di bawah 100 yang menandakan petani mengalami kerugian. Seperti subsektor tanaman pangan, perkebunan dan hortikultura, beberapa periode NTP-nya di bawah 100.
Menurut Pengamat Ekonomi Universitas Udayana Prof. Wayan Ramantha, seharusnya dengan rangsangan Pergub 99 Tahun 2018, NTP dan NTUP meningkat karena permintaan akan produk pertanian lokal naik. “Kalau permintaan meningkat berarti penjualan meningkat, pendapatan meningkat dibandingkan costnya yang lebih kecil, akhirnya NTP akan menjadi lebih tinggi,” ungkapnya ditemui di Warung 63, Jalan Veteran, Denpasar, Sabtu (20/7).
Menurutnya, jika biaya produksi ingin ditekan agar biaya yang dikeluarkan petani lebih kecil, petani harus membeli dalam jumlah yang banyak misalnya bibit atau pakan. Dengan pembelian dalam jumlah yang banyak, harganya akan lebih murah. Dengan demikian, produktivitas pertanian juga lebih tinggi.
Demikian juga teknologi, sangat penting diterapkan dalam pertanian untuk menghasilkan pertanian yang berkualitas, kontinyuitas, dan produktif. Jika bantuan teknologi dilakukan secara massal, pada akhirnya akses teknologi dan biayanya juga menjadi lebih murah.
Bila produktivitas massal mampu meningkatkan kesejahteraan petani, lalu kenapa tidak dilakukan di Bali? Menurutnya, karena ada kelemahan struktural pertanian di Bali. Produktivitas pertanian di Bali rendah karena rata–rata kepemilikan lahan oleh satu orang petani di bawah setengah hektar. Pada akhirnya mereka bekerja di lahan yang sangat sempit tanpa ada dukungan teknologi sehingga produktivitasnya rendah dan ongkosnya mahal. Akhirnya tidak kompetitif dibandingkan dengan rata–rata kepemilikan lahan di atas 5 hektar per petani.
Tidak hanya mensejahterakan petani, produktivitas massal juga dapat menekan harga yang berpengaruh terhadap inflasi dan harga di tingkat konsumen, sebab BEP (break event point) bisa ditekan (biayanya bisa lebih rendah).
Ramantha menilai pertanian dengan produktivitas massal bisa diterapkan di Bali misalnya diwadahi oleh BUMDes atau dengan green house. Green house saat ini sudah mulai ada, namun ditanam oleh petani tertentu, misalnya petani dengan kemampuan ekonomi lebih tinggi.
“Mereka bisa berinvestasi tapi kalau investasi di lakukan secara sendiri–sendiri, ongkosnya menjadi mahal. Tapi kalau green house dilakukan secara massal misalnya dikoordinir oleh pemerintah dalam bentuk bantuan green house, bisa memfasilitasi sehingga akhirnya membeli secara bersama–sama dalam jumlah yang banyak dan akhirnya mendapat harga murah dan lebih efisien,” bebernya. (Citta Maya/balipost)