Sejumlah warga membaca buku di Rumah Baca Loloan. (BP/olo)

Oleh Romi Sudhita

Agak miris rasanya membaca judul dan teras (lead) berita Bali Post yang terbit 21 Juni lalu. Judulnya ditulis dengan huruf besar-besar ‘’Banyak Siswa Kelas VI SD Belum Lancar Calistung’’. Kata ‘’calistung’’ merupakan kependekan dari membaca, menulis, dan berhitung. Sedangkan teras atau lead beritanya mengisahkan tentang masih banyak anak SD kelas VI pada sebuah SD di Tabanan yang belum lancar membaca, menulis, dan berhitung sebagaimana diungkapkan oleh Dewan Pendidikan dan Klinik Pendidikan Kabupaten Tabanan yang merupakan sebuah fakta emperis.

Ditambahkan, bahwa persoalan tersebut harus dicarikan jalan keluarnya agar pendidikan di Tabanan benar-benar sesuai dengan harapan. Sayang seribu sayang, kelanjutan berita yang menyangkut jalan keluar atas permasalahan itu belum kunjung muncul di koran, walau penulis dengan setia menunggu-nunggunya. Atau, barangkali sudah dicoba dicarikan pemecahan, namun tidak diberitakan di koran. Bisa jadi seperti itu.

Kembali ke persoalan pokok yaitu “kurang lancar membaca menulis dan berhitung alias calistung.” Ada lagi istilah yang agak mirip dengan calistung yakni penyakit tiga buta (buta aksara dan angka Latin, buta bahasa Indonesia, serta buta pengetahuan dasar). Dari ketiga jenis penyakit ini bisa saja muncul hanya satu atau dua yaitu penyakit “berhitung” di mana orang tersebut tak bisa berhitung, kendati dua lainnya yaitu membaca dan menulis memang pintar.

Baca juga:  Membudayakan Milenial Membaca

Di pihak lain bisa saja terjadi ketiga penyakit itu muncul secara serempak, ya membaca, ya menulis, ya berhitung. Tentu saja konotasi kata penyakit itu memang sudah seyogianya diberikan terapi alias dicarikan jalan keluarnya. Kelanjutan paparan dalam tulisan ini dibatasi hanya membaca dan menulis mengacu pada judul tulisan.

Membaca dan Menulis 

Terlepas dari rajin tidaknya orang itu membaca, namun yang sudah terlihat dari kegiatan membaca itu adalah manfaatnya. Dengan membaca, pikiran orang semakin dipertajam semakin kritis, begitu pula dengan rajin membaca akan sangat terkait dengan aktivitas pembelajaran seseorang bila kebetulan yang bersangkutan adalah seorang pelajar dan/atau mahasiswa.

Masih ada satu fungsi atau manfaat membaca yakni merupakan prasyarat bisa tidaknya orang itu menulis. Dengan semakin sering dan rajin membaca, maka orang tersebut akan semakin lancar dalam menulisnya. Jadi, kalau ada yang bertanya mana yang lebih dulu dipelajari/dikuasai apakah membaca atau menulis, jawabannya jelas membaca terlebih dulu. Membaca dulu baru kemudian menulis.

Baca juga:  “Local Hero” Pariwisata dan Ekonomi Kreatif

Tidak sedikit orang yang menyampaikan keluhan, “menulis kok sulit amat ya, saya bingung dari mana harus memulainya?” ujar Siska seorang mantan siswa yang baru berancang-ancang mau menulis. Ternyata, apa yang dikeluhkan Siska itu banyak pula dialami oleh yang berkehendak menjadi penulis.

Apabila saya selaku penulis ditanya tentang kesulitan tersebut, saya jawab santai saja dengan mengatakan “resepnya adalah: Menulis, menulis, dan menulis.” Artinya, untuk menjadi penulis tidak cukup dengan berbekal teori semata melainkan harus banyak praktik atau menulis secara langsung entah apa yang akan dijadikan objek tulisan tersebut.

Malah tidak sedikit pula seorang penulis yang menerapkan prinsip “hantam dulu urusan belakang” yang mengandung makna, jangan terlalu dipikir tetek bengek teorinya, tetapi langsung saja menulis sesuai kemauan kita.

Kendati demikian, berdasarkan pengalaman penulis, usahakanlah terlebih dahulu menulis sesuatu yang ringan-ringan atau yang gampang-gampang, tidak menyertakan referensi juga tidak apa, yang penting apa yang ada di otak kita atau di hati kita supaya bisa dituangkan ke dalam bentuk tulisan.

Baca juga:  Bali Perlu ‘’Treatment’’ Khusus

Seorang rekan wartawan yang merangkap sebagai dosen di perguruan tinggi bergengsi di Denpasar, Prof. Wayan Windia, dalam sebuah diskusi kecil pernah mengatakan bahwa tujuan menulis itu salah satunya adalah untuk mengosongkan pikiran. Benarkah? Tampaknya apa yang disampaikan Windia itu ada benarnya juga, sebab orang yang mengalami beban pikiran atau stres berat bisa jadi “obatnya” adalah penyaluran lewat beberapa alternatif, satu di antaranya melalui tulisan. Tulisan yang dimaksud pun beraneka macam ada yang tergolong fiksi (misalnya puisi), dan ada pula yang nonfiksi seperti artikel opini di surat kabar.

Mengakhiri tulisan opini ini tak ada salahnya dibuat semacam simpulan kecil yaitu (1) Sebagai calon penulis atau bahkan sudah berstatus penulis jangan henti-henti belajar. Belajar bisa dengan melihat, mendengar, dan/atau dengan mencatat apa yang dirasa penting sebagai bahan tulisan, (2) Tumbuhkan gemar menulis sejak dini, tanpa harus melihat dapat honor atau tidak, dan (3) Jika memungkinkan buat perpustakaan pribadi di rumah yang isinya segala bentuk bahan bacaan entah itu buku, koran maupun beraneka kliping dari segala sumber.

Penulis, pemerhati pendidikan dan pegiat pers

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *