DENPASAR, BALIPOST.com – Anak-anak terlantar berdasarkan UU harus dipelihara negara. Memelihara anak terlantar ini salah satunya melalui panti asuhan, kemudian diberikan dana untuk memelihara anak-anak tersebut.
Namun dalam prakteknya, panti asuhan terkadang berjalan tidak sesuai koridornya yaitu memberikan pengasuhan alternatif. Bagian Divisi Hukum dan Advokasi Komisi Penyelenggara Perlindungan Anak Daerah (KPPAD) Bali Ni Luh Gede Yastini, SH., mengungkapkan, beberapa kasus yang pernah ditangani KPPAD Bali, salah satu panti asuhan di Kota Denpasar berhadapan dengan persoalan hukum karena oknum pengurus panti melakukan kekerasan seksual terhadap anak asuhnya.
Kasusnya pun telah menyentuh ranah hukum. Namun pasca berhadapan dengan kasus, panti tersebut dikatakan melakukan perpanjang izin melalui Dinas Sosial.
Adanya kasus dalam panti seperti ini, menurut Yastini, Dinsos harus lebih selektif dan mengawasi secara ketat panti asuhan yang ada, agar anak-anak tidak menjadi korban. Selain itu, yang menjadi atensinya adalah 70 persen anak-anak panti asuhan di Bali berasal dari luar Bali.
Menurutnya kondisi ini memprihatinkan karena anak-anak tersebut akan tumbuh tercerabut dari akar budayanya. “Anak-anak yang sekarang ada di Bali banyak juga dari luar Bali,” ungkapnya Jumat (26/7).
Menurutnya, proses yang harus dilakukan untuk membawa anak ke luar dari daerah asalnya adalah harus mendapat surat rekomendasi dari dinas sosial asal anak tersebut. “Dalam prosesnya, panti asuhan harus mengikuti peraturan yang ada, paling tidak ketika dia mengambil anak di suatu daerah dibawa oleh panti-panti yang berdiri di Bali, seharusnya ada surat pengantar dari dinas sosial daerah asalnya, misalnya dari NTT, NTB yang dibawa ke Bali, yang menyatakan anaknya direkomendasikan ditaruh di panti asuhan yang ada di Bali karena tidak memungkinkan ditaruh di panti asuhan di NTT atau NTB,” bebernya.
Beberapa kasus ia temukan, anak-anak yang diambil dari berbagai daerah dibawa ke Bali. Namun, tidak ada dokumen yang jelas, akta, tidak ada rekomendasi dari dinas sosial setempat yang menyatakan bahwa tidak ada panti di tempat asalnya yang bisa menampung.
“Dinas sosial harus menjadikan itu sebagai bagian dari monitoringnya, karena seharusnya panti itu sebagai pengasuh alternative ketika orang tua tidak bisa mengasuh, akan dibawa ke panti sebagai pengasuh alternatif,” ungkapnya sembari mengatakan panti asuhan saat ini istilahnya LKSA (Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak).
Pengasuhan alternatif itu pun sebaiknya dilakukan di tempat asalnya, sesuai dengan adat istiadat anak itu, sehingga anak itu tidak tercerabut dari akar budayanya. Kecuali dalam kondisi tertentu anak tersebut harus dibawa keluar dari daerah asalnya.
Kondisi ini justru membuat anak akan menjadi korban karena jauh dari orang tuanya dan jauh dari masyarakat aslinya. Selama ini yang terjadi di Bali, 70 persen anak di panti asuhan berasal dari luar Bali dan ia mendapat informasi tidak semuanya memiliki dokumen lengkap. (Citta Maya/balipost)