DENPASAR, BALIPOST.com – Selama empat tahun, sektor properti belum kembali pulih. Kondisi ini bisa dilihat dari rasio NPL (non-performing loan) yang merangkak naik.
Industri bank pun, kata praktisi perbankan, Alex P. Chandra, sedang menunggu titik equilibrium baru pertumbuhan sektor properti. “Sektor properti Bali sedang sakit. Bahkan NPL Bali setengah dari rata-rata NPL nasional. Kondisi ini mulai dirasakan sejak 2015. Sehingga dari sisi risiko kredit, saat ini jauh lebih besar dibandingkan sebelum 2015,” ungkap Chairman Lestari Group ini.
Ia mengutarakan sejak 2015 hingga saat ini, sektor yang dulunya menjadi salah satu andalan Bali ini makin declining (mundur). “Ujungnya belum kelihatan, kita maping juga belum kelihatan ujungnya,” sebutnya belum lama ini.
Kemunduran properti, menurutnya terjadi karena beberapa faktor. Bali dengan core bisnis pariwisata, lapangan usaha yang mendominasi adalah akomodasi yang terdiri dari hotel dan villa.
Sementara saat ini Bali mengalami over supply hotel. Apalagi triwulan II 2019 ini ada penambahan hotel berbintang baru di Bali.
Oleh karena, terjadi perang tarif antarhotel. Akibatnya bisnis perhotelan menurun. “Kalau ditanya ke bank, dari 10 debitur bermasalah, 5 diantaranya pasti hotel, karena hotelnya sakit, perang tarif,” ungkapnya.
Kondisi over suplai hotel ini membuat bisnis hotel berpotensi merugi sehingga investor enggan membangun hotel lagi. Kalaupun ada, menurutnya, pembangunan itu sudah terlanjur dilakukan sehingga diteruskan.
Sedangkan dari sisi permintaan properti, dikatakan berkurang bahkan tidak ada. Permintaan yang berkurang ini karena sebelum 2015, properti lebih banyak dibeli dengan uang haram, seperti uang korupsi. Diduga hampir 30 persen properti di Bali dibeli dari uang hasil korupsi.
Makin intensifnya penindakan terhadap kasus korupsi beberapa tahun belakangan membuat sektor properti di Bali melesu. Urusan pajak yang agresif juga membuat konsumen mengurungkan niat membeli properti.
Pemungutan pajak yang agresif ini, dinilainya membuat calon pembeli tidak nyaman. Sebab, barang mewah dipertanyakan asal usulnya, termasuk properti. “Kebijakan pajak agresif itu buat orang kaget. Akibatnya investor ini diam. Padahal uang ada, likuiditasnya ada tapi diam,” ungkapnya.
Faktor ketiga yang membuat properti masih stagnan adalah suku bunga kredit untuk perumahan tinggi. Untuk mengobati kondisi property yang stagnan, faktor-faktor penghambat tersebut harus diselesaikan satu per satu. “Tapi untuk korupsi, tidak bisa lagi toleransi,” pungkasnya.
Sementara faktor lain yaitu suku bunga kredit untuk perumahan sudah diturunkan, perpajakan juga sudah mulai direlaksasi. Dengan adanya perbaikan kondisi itu, ditambah dengan tidak adanya penambahan suplai baru, perlahan-lahan property dinilai akan kembali bergairah. “Demand naik terus sebenarnya, tapi supply-nya banyak. Kalau supplynya berhenti, kita harus menunggu sampai ketemu titik equilibriumnya. Setelah itu baru akan investor baru datang,” bebernya. (Citta Maya/balipost)