Dalam urusan politik, memang berbagai kepentingan ikut bermain. Dulu, kepentingan di akar rumput sangat mudah dipahami. Namun pada era sekarang, beragam kepentingan masuk. Termasuk di masyarakat kelas bawah.
Ketika berbagai kepentingan itu muncul, maka wakil rakyat seperti terbelenggu. Terikat erat dengan induk partainya, sehingga substansinya sebagai wakil rakyat di lembaga legislatif menjadi sangat kabur. Mereka ini duduk sebagai wakil rakyat atau perpanjangan tangan partai politik?
Mereka ini semakin mantap menjadi wakil parpol ketika sang ketua parpol secara terbuka mengatakan bahwa mereka itu adalah petugas partai. Bukan sebagai wakil rakyat. Sering kali manifesto politik seperti ini sangat merugikan rakyat yang sangat berharap perhelatan lima tahun sekali itu memunculkan para pejuang yang duduk di legislatif.
Tidak semua memang demikian, tetapi dari pola-pola yang terbaca saat ini, kebanyakan memang memerankan skenario seperti itu. Mereka itu perpanjangan kepentingan partai yang menugaskannya, bukan rakyat yang diwakilinya. Petugas partai memang sering kali memunculkan hasil keputusan politik yang tidak memihak rakyat.
Keputusan politik yang diambil pemangku kebijakan idealnya mampu menjangkau setiap warganya. Hampir semua aspirasi anggota masyarakat mampu diakomodasikan secara proporsional. Itu merupakan keputusan politik yang berkeadilan.
Namun, pada era masyarakat modern saat ini, yang kompleksitasnya semakin melebar ke mana-mana, tentu hal itu sangat sulit diwujudkan. Setiap kebijakan atau keputusan politik yang telah dirumuskan, kemudian diambil memang menghadapi berbagai kepentingan. Sehingga pada dasarnya, secara hitung-hitungan atau kalkulasi politik, keputusan itu mempertimbangkan seberapa yang diuntungkan dan seberapa besar pula yang dirugikan. Jadi, setiap keputusan politik yang diambil agar pro-rakyat haruslah mempertimbangkan faktor kalkulasi itu.
Gaya kolaborasi petugas partai di legislatif dan eksekutif ini tentu akan berdampak sistemik kalau tidak ada sebuah langkah berani yang harus ditempuh. Bisa dari internal, dari segelintir anggota legislative, serta pejabat publik di eksekutif yang masih punya komitmen serta dedikasi untuk kesejahteraan rakyat.
Sayangnya pada era reformasi ini, fenomena politik transaksional semakin tidak terbantahkan. Mereka melakukan pendekatan pulang pokok dalam merebut suara rakyat dan mendorong terjadinya korupsi semakin menggurita, dan puncaknya ketika berbagai kasus korupsi politik. Perampokan uang rakyat secara besar-besaran tidak terelakkan. Korupsi semakin kencang, sepertinya tidak ada pembatasan yang dapat menghambat lajunya korupsi, dan hampir menyeluruh dalam kehidupan birokrasi negara.
Karenanya, rakyat harus mampu memilih wakil rakyat yang bisa mengemban aspirasi rakyat. Selain membidik suara pemilih, mereka juga harus mampu menjadi teladan dalam proses pembelajaran politik. Calon hendaknya mampu mengajak masyarakat pemilih menggunakan nuraninya dalam menggunakan satu hak suaranya. Jika ini bisa dijabarkan maka biaya tinggi untuk menjadi wakil rakyat bisa ditekan. Dengan cara-cara seperti ini juga, kita patut yakini para legislator bisa menjadi wakil rakyat yang baik, tidak korup dan tak menjadikan bansos sebagai amunisi.
Tentu, kita juga tak bisa hanya menuntut dari para calon wakil kita. Sebagai pihak yang menentukan keterpilihan mereka, menjadi hal wajib bagi kita untuk menggunakan hak suara secara arif dan bijak. Memang kesannya terlalu naif, tetapi semua harus dimulai. Ketika kita sebagai pemilih jangan terjebak dalam ‘’bisnis’’ politik maka kita patut mencatatkan diri sebagai penghancur demokrasi.
Peran sebagai pemilih juga harus dilakukan dengan mengedepankan nurani. Kita tak bisa menuntut hanya terus-menerus partai politik atau para kandidat. Hal penting yang paling mudah dilakukan adalah memperbaiki cara kita dalam memilih wakil rakyat.
Jika selama ini kita terjebak pola-pola transaksi dan kebulatan tekad, maka ada baiknya kita mulai introspeksi diri. Mari menjadi bagian demokrasi berkualitas. Penting juga bagi kita untuk menyiapkan proses yang benar bagi politisi, agar hasilnya juga benar-benar berpihak pada kepentingan publik.