Oleh A.A. Raka Pradnyamita, S.ST.
Perayaan hari suci Galungan dan Kuningan memiliki makna peringatan kemenangan dharma melawan adharma serta ucapan syukur atas kemakmuran dan kesejahteraan yang dilimpahkan Ida Sang Hyang Widhi Wasa kepada kita. Antusiasme umat Hindu dalam menyambut hari kemenangan tersebut salah satunya ditandai dengan persiapan bahan-bahan sesajen seperti janur, buah dan bunga, bahan-bahan penjor, kue dan jajan tradisional.
Pada saat hari suci itu tiba, umat Hindu, baik anak-anak, dewasa, pria maupun wanita akan mengenakan busana adat Bali, kemudian berbondong-bondong menghaturkan sembah bakti ke Pura-pura dan merajan. Sarana-prasarana persembahyangan di hari raya ini yang ragam dan jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan hari biasa, cenderung menjadi salah satu sumber pengeluaran terbesar umat Hindu di Bali. Termasuk juga busana adat ke pura yang seringkali dipersiapkan dari jauh-jauh hari agar pada saat hari raya bisa menggunakan baju, kebaya, dan kamen yang baru.
Hasil Sensus Penduduk Tahun 2010 mencatat bahwa sebanyak 83,5 persen penduduk di Bali memeluk agama Hindu. Mayoritas penduduk yang beragama Hindu menjadikan kegiatan ritual keagamaan dan adat Bali akan sering ditemui di Pulau Dewata ini. Tentu menjadi hal yang menarik sebab masyarakat Hindu di Bali menyajikan keberagaman ritual dan upacara keagamaan yang melekat tidak hanya pada upacara-upacara adat tertentu, melainkan melekat pula pada keseharian mereka.
Ritual keagamaan dan upacara adat yang beragam khususnya yang berskala besar seperti perayaan hari suci Galungan dan Kuningan, upacara pawiwahan, memberikan efek terhadap pola konsumsi yang kiranya berpengaruh pada pos pengeluaran masyarakat Bali. Badan Pusat Statistik (BPS) mendefinisikan pola konsumsi sebagai kecenderungan rumah tangga/penduduk membelanjakan pendapatannya dalam upaya memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga/penduduk tersebut. Konsumsi penduduk dibedakan menjadi dua jenis, yaitu konsumsi makanan dan konsumsi bukan makanan.
Mengutip data BPS tahun 2018, secara umum penduduk Bali mengeluarkan uang lebih banyak untuk pos pengeluaran bukan makanan, yaitu 55,89 persen dari total pengeluaran per kapita sebulan. Semetara itu, pos pengeluaran makanan hanya 44,10 persen dari total pengeluaran per kapita sebulan. Dari total pengeluaran makanan per kapita sebulan tahun 2018, konsumsi makanan dan minuman jadi mendominasi pengeluaran kebutuhan pangan masyarakat di Bali.
Kemudian untuk pengeluaran bukan makanan, pengeluaran yang mendominasi adalah pengeluaran untuk perumahan dan fasilitas rumah tangga, aneka komoditas dan jasa, barang tahan lama, dan keperluan pesta dan upacara. Hal yang menarik tampak dari proporsi pengeluaran masyarakat Bali untuk keperluan pesta dan upacara yang mencapai 6,84 persen dari total pengeluaran bukan makanan per kapita sebulan.
Proporsi tersebut di atas rata-rata pengeluaran per kapita sebulan masyarakat di Indonesia terhadap kebutuhan pesta dan upacara yang hanya berkisar 3,18 persen dari total pengeluaran bukan makanan per kapita sebulan. Fenomena ini memberikan sinyal bahwa kebutuhan primer masyarakat Bali tidak terbatas pada pangan, sandang, dan papan semata, tetapi upacara dan pesta dengan adat budaya yang melekat di dalamnya juga turut memberikan kontribusi.
Perbedaan gaya hidup, kondisi sosial serta ekonomi antara masyarakat desa dan kota, memberi konsekuensi perbedaan pada pola konsumsi keduanya, termasuk pola konsumsi untuk keperluan ritual keagamaan dan adat istiadat. Dari segi ekonomi, mengutip data BPS tahun 2018, rata-rata pengeluaran per kapita per bulan penduduk perkotaan sebesar Rp 1.558.451, lebih besar dibandingkan penduduk di perdesaan yakni sebesar Rp 1.024.086 per kapita sebulan.
Kebutuhan masyarakat perkotaan yang cenderung lebih kompleks bisa menjadi salah satu penyebabnya. Kemudian dari segi sosial, dapat dipengaruhi oleh lapangan kerja yang digeluti oleh masing-masing kelompok masyarakat yang berdampak pada ruang gerak mereka dalam kehidupan adat dan beragama.
Masih berdasarkan data BPS tahun 2018, penduduk Bali yang bekerja pada sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan ada sekitar 20 persen dari total penduduk yang bekerja. Seperti yang kita ketahui, aktivitas pertanian, peternakan dan bercocok tanam lainnya masih menjadi kegiatan yang dominan dilakukan oleh penduduk perdesaan.
Fakta ini menunjukkan bahwa masyarakat desa dapat lebih fleksibel dalam mengatur waktu kerjanya dibandingkan masyarakat kota. Sehingga antusiasme dan ruang gerak masyarakat desa terhadap kegiatan adat dan keagamaan akan lebih besar dibandingkan masyarakat kota. Lalu, apakah ada perbedaan pola konsumsi untuk keperluan ritual keagamaan, adat, dan budaya antara masyarakat perdesaan dan perkotaan?
Bila dibandingkan antara masyarakat desa dan kota, proporsi pengeluaran upacara dan pesta per kapita sebulan terhadap konsumsi bukan makanan, tampak lebih besar pada masyarakat perdesaan. Mengutip data BPS tahun 2018, proporsi pengeluaran upacara dan pesta masyarakat Bali di perdesaan sebesar 8,90 persen, sementara di perkotaan hanya 6,30 persen. Hal ini memberikan sinyal bahwa ikatan adat dan budaya masyarakat perdesaan lebih kuat dibandingkan masyarakat perkotaan.
Namun, jika melihat angka tahun 2017, proporsi pengeluaran pesta dan upacara pada masyarakat perdesaan mencapai 10,32 persen, sementara di perkotaan masih menunjukkan proporsi yang relatif sama yakni sebesar 6,37 persen dari total pengeluaran bukan makanan per kapita sebulan. Adanya tren yang menurun untuk pengeluaran pesta dan upacara pada masyarakat desa mengindikasikan bahwa secara umum ikatan adat dan budaya masyarakat Bali mulai melonggar.
Melonggar di sini bukan berarti meninggalkan, melainkan lebih fleksibel, realistis, dan menyesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan ekonomi, tanpa mengurangi makna dari ritual keagamaan maupun adat tersebut. Hal lain yang perlu menjadi perhatian adalah proporsi pengeluaran untuk pesta dan upacara di perdesaan yang tinggi, sementara rata-rata pendapatan per kapita di perdesaan yang diproksi dari pengeluaran per kapita yang lebih rendah dibandingkan dengan pengeluaran per kapita di perkotaan. Kondisi yang demikian mungkin disebabkan oleh kebutuhan penduduk desa yang tidak sebanyak dan seberagam penduduk perkotaan.
Fleksibilitas pekerjaan dan masih sederhananya kebutuhan pokok masyarakat desa, memungkinkan mereka mengalokasikan lebih banyak dana dan waktu untuk menyelenggarakan ritual keagamaan atau upacara adat. Selain itu, tradisi yang mungkin harus melibatkan banyak orang dalam setiap upacara adat dan keagamaan juga menjadi penyebab tingginya pengeluaran adat di perdesaan.
Namun, mengingat bahwa pendapatan yang diproksi dari pengeluaran per kapita masyarakat yang masih cenderung rendah, ada baiknya jika upacara ritual atau keagamaan diselenggarakan dengan tidak menghamburkan uang dan tidak mementingkan ‘’gengsi’’, melainkan disesuaikan dengan kemampuan ekonomi masing-masing. Banyak hal lain seperti kebutuhan pokok sehari-hari, kelangsungan pendidikan anak, kesehatan keluarga dan kebutuhan penting lainnya yang harus dipenuhi.
Sloka Bhagawad-Gita IX.26, ‘’Pattram puspam phalam toyan yo me bhaktya pruyacchati tod ahom bhaktyaupahritom Asnami prayatatmanah’’ dengan inti bahwa siapa saja yang sujud di hadapan-Ku dengan persembahan sehelai daun, sekuntum bunga, sebiji buah-buahan, seteguk air, Aku terima sebagai bakti persembahan dari orang yang berhati suci. Sloka ini mengajarkan kita bahwa pelaksanaan ritual keagamaan dan upacara adat atau yadnya dalam bentuk apa pun tidak sepantasnya dilakukan secara berlebihan.
Pelaksanaan ritual keagamaan dan upacara adat yang berlebihan di tengah ketidakmampuan dari sisi ekonomi justru akan menimbulkan kesan pamrih, dan jauh dari istilah hati suci dan tulus ikhlas. Implementasi desa kala patra bisa menjadi solusi untuk menyikapi salah satu kebutuhan primer mayarakat Bali terhadap keperluan ritual keagamaan dan upacara adat ini.
Pelaksanaannya tetap mengacu pada tempat (desa) upacara tersebut berlangsung, waktu (kala) upacara, kemudian keadaan ataupun situasi (patra) upacara tersebut dilangsungkan. Misalnya bagi masyarakat dengan ekonomi kurang mampu, upacara adat ini bisa dilakukan dalam tingkatan kecil tanpa mengurangi makna dari upacara tersebut.
Penulis, ASN Badan Pusat Statistik Kabupaten Gianyar