Umat Hindu melakukan persembahyangan. (BP/wan)

Gairah umat Hindu (Bali) untuk melaksanakan kegiatan upacara terlihat meningkat. Bahkan ada “ekspansi” ke luar daerah (Bali) seperti di Jawa. Tidak sebatas melakukan tirtayatra dan upacara ritual, tetapi juga terlihat dari pendirian pura. Tidak tanggung-tanggung, beberapa pura megah kini berdiri di luar Bali. Upacara besar pun kerap dilakukan di pura besar itu, yang panitia dan pelaksananya dominan umat Hindu dari Bali.

Gairah ini dapat dilihat  sebagai peningkatan kesadaran beragama, juga peningkatan taraf ekonomi umat. Dari dua sisi ini, semestinya diikuti peningkatan kepekaan humanisme umat. Jangan sampai, dalam melaksanakan berbagai ritual keagamaan terlihat begitu jor-joran, sementara kepedulian pada sesama malah menurun.

Jangan sampai, dalam ber-yadnya hanya lurus ke atas tanpa peduli lingkungan dan sesama yang berada di garis horizontal. Apalagi di Bali sangat menekankan filsafat Tri Hita Karana (hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan sesama, dan hubungan manusia dengan alam lingkungan).

Baca juga:  Umanis Galungan, Polisi Amankan Objek Wisata

Dalam praktik keseharian umat Hindu di Bali, justru banyak terlihat lebih fokus ke atas bahkan terkesan jor-joran. Dalam upacara pernikahan misalnya, gerbang rumah mempelai dihias gayor yang begitu wah bahkan sampai mengambil trotoar dan badan jalan. Belum lagi hiasan rumah, aneka hidangan dan pakaian pengantin, serba-wah.

Hiruk-pikuk dan gempita pesta menenggelamkan jeritan tetangga di sebelah tembok yang lagi kesusahan memikirkan biaya hidup sehari-hari mereka. Demikian halnya dalam upacara pengabenan, matatah, termasuk pembuatan ogoh-ogoh menjelang hari suci Nyepi. Alangkah indahnya jika sebagian biaya yang begitu besar itu dapat disisihkan untuk humanisme.

Hindu mengajarkan, dalam tubuh tiap makhluk ada percikan terkecil dari Tuhan. Memberi sedekah kecil kepada percikan terkecil Tuhan sama besar nilainya dengan menggelar ritual keagamaan jor-joran, yang belum tentu juga diterima Tuhan karena dilaksanakan tidak dengan tulus ikhlas (konsep yadnya).

Baca juga:  Dua Hari Raya Pererat Toleransi di Belimbingsari

Kepekaan humanisme sulit dibangun dalam jiwa penuh ambisi pamer apalagi iri dengki. Kepekaan humanisme bisa ditumbuhkan jika kesadaran akan ajaran dalam tiap tubuh makhluk hidup bersemayam Tuhan yang sejatinya, dan itu harus dimuliakan. Menuju ajaran tinggi ini, bisa diawali dengan ajaran Tat Twam Asi, merasakan penderitaan sesama bahkan semua makhluk ciptaan Tuhan.

Jika konsep mulia ini bisa diamalkan dengan baik, pastilah ada rasa tersentuh ketika hendak memulai sebuah upakara besar dan mewah. Akan muncul kesadaran gerakan menyisihkan sebagian anggaran biaya dalam rencana upakara ke gerakan sedekah ke sesama. Wujudnya bisa menjadi punia untuk kemanusiaan, punia beasiswa untuk peningkatan kualitas SDM Hindu, dan sejenisnya.

Reinkarnasi hidup sebagai makhluk tertinggi (manusia), haruslah benar-benar dimanfaatkan untuk bagaimana bisa benar-benar bermanfaat bagi sesama dan makhluk Tuhan. Mengingat, Hindu mengajarkan Tuhan bersemayam dalam tiap tubuh makhluk hidup. Hindu mengajarkan pula, dengan cara apa pun kau menghadap-Ku akan Ku-terima. Upacara sangat-sangat sederhana, sederhana, biasa, besar, dan mewah, tetaplah sama di hadapan Tuhan.

Baca juga:  Juli 2019, Inflasi Bali Lebih Tinggi dari Nasional

Karena yang dilihat dan dinilai, karma kita dalam menjalani kehidupan sebagai manusia, makhluk tertinggi ciptaan Tuhan. Hal ini sekaligus untuk menekan, jangan sampai penyelenggaraan berbagai kegiatan yadnya di Bali menjadi kebutuhan primer yang biayanya justru lebih besar dari biaya hidup sehar-hari masyarakat.

Ini untuk mencegah kesan, penyelenggaraan berbagai upacara Hindu di Bali sebagai sebuah pemborosan menghambur-hamburkan uang bahkan dianggap sebagai pemiskinan umat. Karena, masih ada umat yang harus sampai berutang hanya untuk bisa mengikuti kegiatan upacara keagamaan.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *