Para petani di Banjarangkan saat memulai bercocok tanam. (BP/gik)

Oleh I Gede Putu Wirawan

Berulang kali pernah saya sampaikan bahwa pertanian itu adalah sebuah usaha dan industri. Karenanya, pertanian mesti dikelola menggunakan pola-pola perusahaan atau pola-pola industri. Pertanian yang hanya untuk pemenuhan kebutuhan sendiri tidak akan pernah menguntungkan di tingkat petani produsen. Dilihat dari segi pengetahuan bertani, para petani kita sangat bisa menyerap teknologi apa pun, tetapi tidak teraplikasi karena tidak cocok perhitungan untung ruginya.

Pertanian bisa menjadi perusahaan pertanian memerlukan beberapa persyaratan seperti memiliki atau mengelola lahan yang luas, punya teknologi dan manajemen produksi, teknologi pengolahan hasil-hasil produksinya, memiliki teknologi kemasan, dan berorientasi pasar (memiliki segmen pasar tertentu) termasuk promosinya. Siapa yang memiliki hal seperti ini niscaya akan mampu menjadi perusahaan pertanian yang maju dan berkelanjutan.

Para petani kita mestinya sangat bisa melakukan transformasi dari pertanian biasa (subsistem) ke perusahaan pertanian atau ke industri pertanian baik dikaitkan dengan pariwisata maupun dikaitkan dengan sektor lainnya. Sebagai contoh, kawasan subak atau subak abian tertentu dapat dikelola menjadi satu perusahaan pertanian yang dikelola oleh orang-orang profesional setempat, sebutlah BUMDdes misalnya yang sudah semestinya berisikan orang-orang profesional di desanya atau orang-orang yang berorientasi pada pasar.

Baca juga:  Jangan Lengah, Perbaikannya Susah

Apa yang diproduksi mestinya sudah ada pasar yang dituju yang membeli produk-produk tersebut. Sehingga pasar atau segmen pasar menjadi bagian yang penting dari manajemen perusahaan pertanian.

Infrastruktur jalan subak pun mesti dapat direncanakan dan dibuat untuk menyalurkan sarana produksi dan pengangkutan produk-produk yang dihasilkan, serta untuk akses pariwisata kalau perusahaan pertanian tersebut berkait dengan pariwisata. Sekitar tahun 1999 melalui Riset Unggulan Terpadu VII hibah dari Kemenristek, kami pernah melakukan Riset Pengembangan Pariwisata Bali Tengah.

Salah satu kesimpulan yang kami ajukan adalah pengembangan subak sebagai satu kesatuan usaha tani dan pariwisata. Sebutlah misalnya kawasan subak Desa Wongaya Gede, Kabupaten Tabanan yang secara topografi kawasannya terbentang indah. Kita dapat memandang persawahan dari pegunungan sampai ke laut yang sangat cantik.

Pariwisata sudah cukup berkembang di kawasan ini. Daya tarik utamanya adalah kawasan Pura Luhur Batukaru (Batukau). Jika kawasan subak itu dikelola dengan baik oleh BUMDes misalnya dengan menempatkan beberapa unit penginapan dan restoran serta apa yang ditanam atau diproduksi direncanakan dengan baik sehingga semua produk dapat terserap atau tersalurkan dengan baik. Subak dapat menawarkan produk-produk yang khas dari subak tersebut.

Baca juga:  BRI Sabet 2 Penghargaan di SOE Award 2021

Produk ini dapat berupa produk pertanian seperti beras padi Bali dengan kualitas premium sehingga dapat disajikan pada restoran di kawasan subak sendiri, buah dan sayuran organik, serta produk-produk pariwisata seperti paket wisata bertanam padi, membajak sawah dengan sapi, mengolah bahan pertanian seperti kopi yang diolah menjadi minuman berkelas,  jus buah, loloh, sampai krim, lulur, minyak atsiri, dan lainnya untuk keperluan spa misalnya.

BUMDes juga dapat mengelola air kemasan misalnya dan dapat mengelola minimarket yang di samping menyediakan kebutuhan pokok sehari-hari juga menyediakan sarana produksi seperti berbagai jenis pupuk, pestisida, alat-alat pertanian, produk-produk hasil pertanian, dan sebagainya. Jika semua contoh tersebut dikelola dalam satu manajemen subak atau koperasi atau oleh BUMDes betapa majunya pertanian kita.

Di sinilah peran penting Badan Riset dan Inovasi Daerah yang sudah dari sejak lama bahkan sejak tahun 1998 sudah banyak pertemuan baik di Jakarta maupun di daerah-daerah yang sempat saya ikuti sudah membicangkannya. Badan riset ini melakukan kajian-kajian teknologi inovasi yang aplikatif untuk masing-masing daerah atau kawasan, teknologi produksi, apa yang dibutuhan dan cocok di satu kawasan tertentu, bagaimana kebutuhan produk-produk tertentu, bagaimana merencanakan produksi dan apa yang mesti diproduksi, bagaimana mengakses pasar, dan aspek lainnya.

Baca juga:  Budaya Kerja Masa Kini

Intinya, badan riset ini mengajak masyarakat terutama petani untuk mentrasformasi diri dari pola pikir subsistem  ke pola pikir perusahaan, bisa merencanakan, bisa mengelola, bisa memasarkan, dan bisa menghasilkan nilai tambah dari produk-produk yang dihasilkan.   Bagaimana riset dan inovasi yang dikembangkan berbasis kebutuhan riil masyarakat dan hasilnya segera dapat diaplikasikan di tingkat masyarakat.

Di bidang pertanian misalnya, bagaimana mengenali hama dan penyakit tanaman, bagaimana cara pengendaliannya, bagaimana mengolah biji kopi untuk menghasilkan kopi dengan mutu yang tinggi, bagaimana mengemas produk agar menarik dan bahan yang dikemas tahan lama, kapan mesti menanam komoditas tertentu agar saat panen mendapatkan harga yang menguntungkan, dan sebagainya. Sedangkan riset-riset dasar yang menjawab mekanisme suatu fenomena tidak perlu dilakukan karena riset seperti ini menjadi tugas perguruan tinggi. Ini pulalah yang dilakukan di negara-negara maju. Tentu dibutuhkan komitmen yang kuat dan tenaga yang profesional di bidangnya masing-masing.

Penulis, profesor Fakultas Pertanian Unud, dosen berprestasi terbaik I Indonesia 2005, dan peneliti terbaik Indonesia 2006.

 

 

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *