DENPASAR, BALIPOST.com – Kasus-kasus penipuan selama ini masih menjadi “bumbu” dalam dunia ketenagakerjaan di Bali. Utamanya dialami masyarakat lokal yang ingin mencari nafkah ke luar negeri sebagai pekerja migran atau TKI/TKW. Oleh karena itu, masalah pekerja migran turut diatur dalam Ranperda tentang Penyelenggaraan Ketenagakerjaan yang tengah dibahas DPRD Bali.
“Tidak boleh lagi ada perusahaan yang memberangkatkan tenaga kerja di Bali tidak memiliki izin di Bali. Kasus penipuan sudah terjadi banyak sekali. Setiap hari anak-anak muda kita ditipu, karena awalnya perusahaan itu tidak memiliki cabang di Bali,” ujar Ketua Pembahasan Ranperda tentang Penyelenggaraan Ketenagakerjaan di DPRD Bali I Nyoman Parta usai menggelar rapat bersama eksekutif dan pihak terkait lainnya, Kamis (1/8).
Menurut Parta, perusahaan juga kerap melakukan perekrutan secara online yang berujung pada penipuan. Agar tidak terjadi lagi, perusahaan yang memberangkatkan pekerja migran sudah diatur dalam ranperda ketenagakerjaan. Termasuk persoalan izin, di samping memiliki kantor cabang di Bali.
Di sisi lain, selama ini ada banyak pula manning agency ke kapal pesiar yang tidak melaporkan kegiatannya ke Dinas Tenaga Kerja. “Jadi, Dinas Tenaga Kerja tidak tahu sesungguhnya berapa orang Bali yang sudah ada di luar negeri. Informasinya adalah 23.000, tetapi data yang ada di Dinas Tenaga Kerja hanya 5.000. Terus di mana anak-anak kita lagi 18.000 itu,” jelas Politisi PDI-P asal Guwang, Gianyar, ini.
Ranperda pun mengatur agar setiap perusahaan atau agen yang memberangkatkan orang Bali ke luar negeri wajib melapor ke Dinas Tenaga Kerja. Dengan demikian, data orang Bali yang bekerja di luar negeri menjadi satu pintu. Berapa pun yang menjadi pekerja migran, Pemprov Bali akan mengetahuinya. Termasuk perusahaan apa yang memberangkatkan dan di mana bekerja sehingga akan tertib. Hal ini juga akan memudahkan pemerintah melakukan perlindungan terhadap tenaga kerja.
“Selama ini banyak hal yang dilakukan perusahaan pemberangkatan, kalau urusan kompetensi pasti kompeten. Masalahnya adalah upahnya ditahan, asuransinya tidak jelas, antara yang ada di job letter pekerjaannya A, ternyata di sana diberi pekerjaan B, dan sebagainya. Itu yang harus kita lindungi dalam perda ini,” paparnya.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan ESDM Provinsi Bali Ida Bagus Ngurah Arda tak menampik bila di lapangan masih ditemukan penyaluran tenaga kerja yang bukan kewenangannya. “Seperti LPK yang tidak punya izin menempatkan tenaga kerja ke luar negeri tetapi menempatkan tenaga kerja ke luar negeri,” ungkapnya.
Menurut Arda, Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) yang nakal seperti itu sudah ada yang dicabut izinnya. Kewenangan untuk mencabut izin berada di pemerintah kabupaten/kota. Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) No.9 Tahun 2019 yang terbit 28 Juni lalu, penempatan tenaga kerja lokal ke luar negeri bisa dilakukan oleh pemerintah, perusahaan, dan tenaga kerja yang bersangkutan itu sendiri. Namun, selama ini penempatan lebih banyak dilakukan oleh PPTKIS (Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta).
“Penempatan tenaga kerja ke luar negeri mengalami perubahan, sekarang namanya P3MI (Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia) dari sebelumnya PPTKIS. Lebih banyak melalui itu,” jelas mantan Kepala BPKAD Provinsi Bali ini.
Pejabat Fungsional Pengantar Kerja Mandiri, Manila Ayu Wijaya, menambahkan, saat ini masih ada dualisme terkait data tenaga kerja lokal di luar negeri. Padahal, data yang valid dibutuhkan untuk memberikan perlindungan awal terhadap tenaga kerja. Maka dari itu, semua pencari kerja ke luar negeri diupayakan mendaftar ke Dinas Tenaga Kerja. “Dualisme itu secara nasional, Bali agak terasa karena kebanyakan bekerja sebagai awak kapal (pesiar-red). Di Undang-undangnya sudah diatur, tapi turunannya (PP-red) sampai sekarang belum ada,” ujarnya.
Menurut Manila, upaya pengawasan sejatinya terus dilakukan pemerintah. Oleh karena itu, sudah ada penindakan terhadap LPK yang seharusnya melatih tapi melakukan pelanggaran dengan menempatkan tenaga kerja di luar negeri. Secara umum, pekerja migran Bali termasuk minim kasus karena ditempatkan untuk sektor formal atau ber-skill sejak 2005.
“Manakala terjadi kasus, datanya masuk manning agency (tidak masuk ke data pemerintah-red), kami selalu fasilitasi. Kami koordinasi dengan BP3, Kementerian Luar Negeri. Misalnya ada jenazah, ya kita jemput bersama-sama tanpa melihat datanya tidak ada di kita lalu tidak mau,” jelasnya. (Rindra/balipost)