Tradisi Makotek digelar untuk menolak Bali. Tradisi ini masuk Warisan Budaya Tak Benda (WBTB). (BP/Dokumen)

MANGUPURA, BALIPOST.com – Tradisi ngerebeg atau yang sering disebut dengan “mekotek” memiliki makna sebagai penolak bala. Karena diyakini bahwa roh-roh jahat yang akan mengganggu masyarakat, akan ada di perempatan atau pertigaan jalan.

Tradisi ini pun dilakukan di perempatan maupun di pertigaan jalan. Menurut Bendesa Desa Adat Munggu, I Made Rai Sujana disela-sela ritual, Sabtu (3/8), ini merupakan suatu makna untuk mengusir roh-roh jahat yang hendak mengganggu masyarakat, khususnya di Desa Adat Munggu, Badung. Tradisi Ngerebeg ini rutin digelar tiap enam bulan dalam perhitungan kalender Bali. Pelaksanaannya jatuh tepat pada Tumpek Kuningan.

Selain itu, tradisi Ngerebeg itu merupakan upaya penghormatan pada para pahlawan. Yang awalnya tradisi ini ada saat masa Kerajaan Mengwi.

Untuk prosesi ritual, warga laki-laki membawa tongkat kayu “pulet” dengan panjang sekitar 3,5 meter. Pelaksanaan tradisi ngerebeg juga merupakan alat untuk mempersatukan warga.

Baca juga:  Digelar 5 Tahun Sekali, Ritual Ngerebeg Desa Adat Kubutambahan

Ia pun memaparkan secara sekilas makna-makna ritual tersebut. Mulai dari kerajaan Mengwi yang dulu beristana di Munggu, dengan rajanya Ida Cokorda Nyoman Sakti Munggu.

Saat mempertahankan kekuasaannya di wilayah Blambangan, Jawa Timur. Sebelum pasukan Mengwi yang bernama pasukan “goak selem” berangkat, tepatnya pada hari Tumpek Kuningan, Raja Mengwi melakukan semedi di Pura Dalem Kahyangan Wisesa, Munggu.

Sang raja pun mendapatkan wahyu dari semedinya tersebut. Kembalinya pasukan yang membawa kemenangan atau keberhasilan perang diperingati dengan tradisi ngerebeg. “Sehingga pada Tumpek Kuningan, tradisi ngerebeg terus diperingati di Desa Adat Munggu yang merupakan suatu penghormatan kemenangan perang kerajaan Mengwi, penghormatan pada para pahlawan,” paparnya.

Baca juga:  Pujawali di Pura Luhur Tanah Lot

Terkait dengan tradisi sebagai tolak bala, ia menceritakan bahwa, awalnya ngerebeg dilakukan dengan tombak. Kemudian pada masa penjajahan Belanda, tradisi ini sempat dilarang, karena dikira akan mengadakan pemberontakan.

Beberapa kali tradisi ini sempat ditiadakan penyelenggaraannya. Akibatnya terjadi wabah penyakit atau gerubug menyerang warga desa, bahkan banyak pula warga yang meninggal dunia.

Kondisi tersebut membuat beberapa tokoh adat dan agama melakukan negosiasi dengan Belanda, dan akhirnya tradisi ngerebeg diizinkan kembali digelar. Tetapi sarana yang dipakai bukan tombak, namun diganti dengan kayu “pulet”. “Mulai saat itu tradisi ngerebeg yang biasanya menggunakan tombak diganti dengan sebatang kayu pulet. Dari keyakinan itu, tradisi ngerebeg sebagai penolak bala atau menjauhkan dari hal-hal yang negatif,” terangnya.

Baca juga:  Konsisten Tolak Reklamasi Teluk Benoa, Dua Desa Adat Dirikan Baliho

Kemudian Ngerebeg juga sebagai alat mempersatukan warga. Karena tradisi ini diikuti hampir seluruh kaum laki-laki umur 14 tahun ke atas, dari 12 banjar yang ada di Desa Adat Munggu. Mereka saling bebaur membawa tongkat kayu berjalan mengelilingi wilayah desa.

Saat tiba dibeberapa tempat, seperti persimpangan jalan mereka berkumpul dan menyatukan ujung tongkat membetuk piramida. Sesekali terlihat salah seorang pemuda memanjat tumpukan tongkat tersebut.

Jadi tradisi ini merupakan upaya dalam mempersatukan anak-anak muda yang ada di wilayah 12 banjar adat di Desa Adat Munggu. Dengan pelaksanaan tradisi ini, diharapkan mereka akan berbuat hal-hal yang positif, mempererat rasa persatuan dan kesatuan diantara kaum pemuda. (Eka Adhiyasa/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *