Salah satu RTHK di Denpasar yang makin terdesak dengan alih fungsi lahan. (BP/dok)

Oleh Agung Kresna

Rumah susun solusi alih fungsi lahan. Headline Bali Post (27/7) ini menyiratkan masifnya alih fungsi lahan yang melanda seantero Bali akibat derasnya pembangunan perumahan. Pesatnya pembangunan fisik di Bali memang telah banyak merambah area terbuka hijau, utamanya kawasan pertanian.

Di sisi lain Bali saat ini juga mengalami defisit air bersih hingga dua miliar meter kubik, sebagaimana dinyatakan oleh Kepala Pusat Pengembangan Pembangunan Ekoregion (P3E) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara (Bali Post, 8/12). Dampak buruk masifnya pembangunan fisik di Bali bagai mulai menampakkan wajahnya. Banyaknya bangunan beton seakan merampok air dari perut bumi Bali.

Sementara jutaan wisatawan yang datang ke Bali ikut berperan minum jutaan galon air dari bumi Bali. Banjir pun melanda seputaran Denpasar dan sekitarnya, meski hujan hanya turun semalaman. Bencana banjir dan tanah longsor bak tidak terelakkan lagi terjadi juga di Gianyar, Badung, Jembrana.

Investasi properti di bidang pariwisata yang bersifat padat modal, telah ikut memunculkan derasnya arus alih fungsi lahan. Pemilik tanah lokal berlomba menjual propertinya, sementara pemilik modal semakin agresif dalam menguasai lahan strategis.

Bahkan area-area yang bersifat suci secara keagamaan dan cukup kental aura budayanya, tak luput dari rambahan para pemodal. Hal ini akibat nilai strategis secara ekonomi yang dikandung area suci tersebut. Filosofi Tri Hita Karana yang seharusnya menjadi pegangan hidup keseharian segenap krama Bali, seakan terlupakan sama sekali.

Baca juga:  Per 9 Juli, Baru 5 Akses Masuk Pantai Kuta yang Dibuka

Kondisi ini mengakibatkan tingginya alih fungsi lahan akibat terdesaknya kawasan alam, budaya dan suci oleh roda ekonomi modern. Pemahaman mendalam tentang filosofi Tri Hita Karana, sudah seharusnya menjadi pola pikir krama Bali. Pemahaman atas filosofi tersebut akan membuat masyarakat selalu menjaga lingkungan fisik dan sosial kehidupannya.

Realitas Tata Ruang Bali

Bali saat ini bagaikan sedang menghadapi dikotomi antara deraan arus ekonomi global dengan nafas tradisi masyarakat yang semestinya masih kuat melekat dalam kehidupan kesehariannya. Padahal, karena filosofi Tri Hita Karana-lah kita saat ini masih bisa menikmati keindahan alam Bali beserta kehidupan masyarakatnya. Segala jenis bentuk pembangunan fisik (lingkungan buatan) di Bali sudah seharusnya berpegang teguh pada Tri Hita Karana sebagai aura yang harus mewarnai tampilan lingkungan buatan yang baru.

Keberadaan Peraturan Daerah (Perda) No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Bali Tahun 2009–2029 sebenarnya sudah sangat rinci dalam mengatur tata ruang Bali, karena Perda ini dianggap sangat ramah dari sisi lingkungan serta melindungi Bali dari kehancuran.

Namun realitasnya terlihat adanya kegamangan dalam mengimplementasikan dan menegakkan Perda RTRWP Bali tersebut. Kondisi ini tentu menjadikan alam dan budaya Bali sebagai pertaruhannya.

Tingginya tingkat tekanan alih fungsi lahan telah mengakibatkan banyaknya kawasan di Bali yang peruntukan ruangnya tidak lagi sesuai dengan apa yang sudah ditentukan dalam RTRWP Bali, Hal ini terlihat pada banyaknya kawasan yang sedianya diperuntukkan sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH), namun realitasnya justru menjadi kawasan terbangun yang disesaki bangunan gedung. Utamanya untuk fungsi permukiman dan akomodasi pariwisata. Situasi ini menunjukkan adanya problem dalam implementasinya.

Baca juga:  Ketahanan Perekonomian Bali

Berubahnya lahan pertanian maupun RTH menjadi kawasan terbangun memberi andil berkurangnya resapan air yang dapat masuk ke dalam perut bumi Bali. Pada gilirannya memunculkan defisit air bersih yang ada di dalam bumi Bali. Akhirnya, tertutupnya area yang seharusnya menjadi pintu masuk air hujan ke perut bumi akan memicu terjadinya genangan air maupun banjir pada saat terjadi curah hujan dengan intensitas tinggi.

Kondisi ini tentu akan menimbulkan adanya ketidak seimbangan daya dukung alam maupun sosial atas tata ruang wilayah secara keseluruhan dalam kawasan tersebut. Tatanan ruang yang sudah ditentukan dalam RTRWP Bali, tentu bukan begitu saja muncul dalam Perda tersebut.

Kajian mendalam telah dilakukan sehingga menghasilkan peruntukan ruang sebagaimana tersebut dalam pasal-pasalnya. Pengendalian bencana alam Bali sebenarnya dapat dilakukan dengan memperhatikan beberapa hal berikut.

Pertama, perlunya kesamaan pemahaman dan cara pandang atas pedoman tata ruang yang tertuang dalam RTRWP Bali. Pedoman tata ruang tersebut tidak boleh dipahami dengan sudut pandang kepentingan masing-masing pihak.

Setiap pihak tidak bisa menyatakan bahwa apa yang dilakukannya sudah sesuai RTRWP Bali, dengan segala penjelasan dan argumentasi menurut sudut pandangnya sendiri, meski sebenarnya bertentangan dengan esensi yang terkandung dalam RTRWP Bali tersebut.

Baca juga:  Statistik untuk Bangsa

Kedua, konsistensi implementasi RTRWP secara konsekuen sesuai klausul-klausul yang tertera dalam Perda RTRWP. Sanksi tegas harus dikenakan kepada para pelanggarnya, baik bagi para penggunanya maupun Aparat Sipil Negara yang memberikan rekomendasi perizinannya. Pengenaan sanksi secara tegas sesuai aturan yang ada tentu akan membuat jera para pelanggarnya, sekaligus menjaga marwah RTRWP Bali itu sendiri.

Ketiga, Izin Mendirikan Bangunan (IMB) harus menjadi pintu utama dalam pengendalian alih fungsi lahan. Hanya dengan IMB-lah Aparat Sipil Negara sebagai pemegang kebijakan sekaligus pemberi rekomendasi perizinan, dapat menjaga konsistensi implementasi RTRWP. IMB menjadi muara atas segala jenis peraturan perizinan yang ada. Segala jenis perizinan pembangunan selalu menjadi berkas lampiran dalam suatu IMB. Tanpa memiliki IMB, suatu lingkungan buatan harus tidak boleh dibangun.

Berbagai bentuk pembangunan Bali sudah selayaknya tetap berpijak pada filosofi Tri Hita Karana, dengan pemahaman yang benar dan mendalam. Kita harus berkaca pada bencana perkampungan yang dirusak kawanan gajah di Sumatera, karena pada hakikatnya perkampunganlah yang telah merambah hunian alami kawanan gajah.

Demikian pula dengan terjadinya bencana banjir dan tanah longsor di kawasan permukiman Bali. Permukimanlah yang telah merambah kawasan air maupun sempadan sungai, bukan sebaliknya.

Penulis, Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies, tinggal di Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *