Lahan pertanian di Tabanan. (BP/dok)

Soal alih fungsi lahan kembali menjadi sorotan. Atas kondisi tersebut, sejumlah solusi pun mengemuka. Salah satunya membangun rumah susun utamanya di tempat-tempat tertentu. Banyak yang setuju, namun tak sedikit juga menolak.

Semuanya memiliki argumen sendiri-sendiri. Mereka yang setuju berkeyakinan, rumah susun diyakini berhasil menekan laju alih fungsi lahan. Mereka yang tak setuju juga punya alasan.

Salah satunya pembangunan rumah susun yang komersial (untuk perorangan) akan menimbulkan masalah baru bagi Bali. Selain soal budaya, hal itu akan membuat Bali semakin sesak penduduk.

Untuk itulah Bali harus segera bergerak menyelamatkan pertaniannya. Dengan demikian akan mencegah masyarakat Bali menjual tanahnya dan tetap menekuni bidang pertanian. Tantangan ini juga akan terasa berat ketika keberpihakan tak dibangun sedini mungkin.

Bahkan jika abai terhadap pertanian Bali, bukan hanya ketersediaan pangan yang menjadi ancaman, pelestarian budaya tradisi dan hancurnya tata kelola ruang di Bali juga akan makin terbuka. Maka sangatlah relevan jika ke depan, kita mulai melakukan langkah strategis melakukan upaya proteksi terhadap lahan pertanian Bali.

Baca juga:  Bila Tak Ada yang Mengawasi, Pura Lebih Baik Dikunci

Selama ini, optimalisasi pengelolaan pertanian Bali cenderung hanya nikmat di tataran wacana. Bahkan politisasi terhadap isu-isu pertanian juga sering dilakukan. Keberpihakan pemerintah Bali selama ini juga tak nyata hasilnya.

Indikator nyata dari keterpurukan pengelolaan sektor pertanian adalah makin menyusutnya lahan pertanian dan cadangan air irigasi menipis. Bisnis air kemasan dengan menggunakan sumber mata air dan air bawah tanah (ABT) justru marak.

Air irigasi juga mulai dikelola untuk melayani air bagi pengembangan permukiman baru yang dikelola oleh pengembang. Realita ini tentu merupakan efek dari laju pertumbuhan penduduk Bali dan makin terbukanya Bali sebagai daerah tujuan wisata.

Kini, saat pariwisata berbasis pedesaan juga menguat di Bali, potensi tergerusnya lahan pertanian juga menguat. Ini layak dicermati bersama. Banyak wisata desa yang menjadikan lahan pertanian sebagai objek dan pengembangannya membutuhkan fasilitas. Kondisi ini akhirnya membuat lahan pertanian harus dikorbankan untuk parkir, fasilitas pembangunan wisata desa, serta untuk fasilitas penunjang lainnya.

Baca juga:  Pemaknaan Ritual Menuju Harmonisasi Kehidupan

Untuk itulah harus ada kajian yang matang untuk menentukan kelayakan suatu desa dikembangkan menjadi wisata desa. Jangan mengejar target terbentuknya wisata desa tanpa melakukan pengawalan yang jelas.

Kualitas wisata desa hendaknya memerhatikan aspek-aspek lingkungan. Jangan sampai program pengembangan wisata desa ini justru menghancurkan tata kelola sektor pertanian dan membuat generasi muda menjauh dari pertanian.

Untuk itulah harus ada kebijakan terukur menjaga pertanian Bali. Kebijakan haruslah berbasis petani dengan membuka ruang yang lebih terbuka kepada petani untuk bisa menikmati kesejahteraan. Sering anjloknya harga produk pertanian dan tak sebandingnya harga produk pertanian dengan produk teknologi membuat sektor pertanian akan dijadikan pilihan alternatif.

Ini juga tak akan mampu menarik minat generasi muda untuk menggeluti pertanian. Terlebih pada era milenial ini, minat untuk menekuni pertanian nyaris menipis. Ini kondisi yang patut segera disikapi dengan mendesain kebijakan pertanian yang diminati generasi muda.

Baca juga:  Bangli Belum Miliki Perda Jalur Hijau

Tentu kita tak bisa hanya menyiapkan generasi petani tanpa melihat prospek pemasaran produk pertanian ke depan. Dengan adanya kebijakan Gubernur Bali dengan perda perlindungan produk pertanian lokal dan penyerapannya, hal ini tentu bisa menjadi harapan baru.

Namun penjabaran program ini juga harus jelas, tak bisa berhenti pada tataran regulasi. Keberpihakan pemerintah dengan regulasi pertaniannya ini haruslah direalisasikan dalam bentuk yang lebih riil. Pelibatan berbagai komponen dalam hal ini tentu akan mempercepat terjadinya tata kelola yang lebih berpihak pada pertanian Bali.

Dengan kebijakan ini, maka sudah saatnya pengelolaan pertanian Bali berorientasi pada terjaganya lahan-lahan pertanian, tata kelola irigasi, dan berlanjutnya regenerasi petani. Tanpa hal ini, Bali akan memasuki masa-masa suram peradaban pertanian yang pada gilirannya akan bersinggungan dengan budaya Bali. Untuk itulah, mari kita selamatkan pertanian Bali dengan melakukan keberpihakan yang lebih jelas dan terukur.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *