Akibat kekeringan petani terancam gagal panen. (BP/Dokumen)

Oleh Ribut Lupiyanto

Kekeringan dan banjir bagaikan dua sisi mata uang. Keduanya merupakan bencana hidrometeorologi yang datang silih berganti dan saling berkaitan. Penghujan identik banjir dan kemarau rentan kekeringan. Tahun ini, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat potensi kekeringan meteorologis (iklim) berada di sebagian besar Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara dengan kriteria panjang hingga ekstrem. Prediksi ini patut diperhatian dengan meningkatkan literasi menuju masyarakat yang melek bencana, termasuk kekeringan.

Indonesia sangat akrab dengan bencana. Secara umum, bencana dapat dipahami dalam dua bentuk, yaitu bencana alamiah dan bencana antropogenik. Bencana alamiah merupakan murni kehendak Tuhan. Sedangkan bencana antropogenik terjadi akibat ulah tangan manusia.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 2.047 bencana melanda Indonesia sejak Januari-Juni 2019. Angka ini naik 15,4 persen dari kurun waktu yang sama pada 2018. Jumlah tersebut meliputi peristiwa puting beliung, banjir, dan tanah longsor. Kemudian kebakaran hutan dan lahan, gempa, gelombang pasang atau abrasi serta letusan gunung api.

Bencana di atas menyebabkan 366 orang meninggal, 26 orang hilang, 1.497 orang luka dan 1.633.702 orang mengungsi. Bencana selama semester satu tersebut telah menyebabkan 33.011 unit rumah rusak, yang terdiri dari 6.006 rusak berat, 5.339 rusak sedang, dan 21.666 rusak ringan. Sementara itu, 1.106 fasilitas umum rusak.

Baca juga:  Hujan Sedang Hingga Ringan Masih Terjadi 3 Hari ke Depan

Selanjutnya, 98 persen merupakan bencana hidrometeorologi atau bencana alam yang terjadi sebagai dampak dari fenomena meteorologi. Sedangkan 2 persen merupakan bencana geologi. Bencana yang paling banyak menyebabkan korban jiwa, antara lain banjir dan longsor di 10 kabupaten atau kota di kawasan Sulawesi Selatan pada 22 Januari 2019. Peristiwa ini menyebabkan 82 orang meninggal, 3 orang hilang, dan 47 orang luka.

Banjir dan longsor di Sentani, Jayapura pada 16 Maret 2019 juga memakan banyak korban jiwa. Bencana ini menyebabkan 112 orang meninggal, 7 orang hilang, dan 965 orang luka. Selanjutnya, banjir dan longsor di Bengkulu pada sembilan kabupaten/kota pada 27 April 2019, dampaknya 24 orang meninggal, 4 orang hilang, dan 4 orang luka. Angka di atas menunjukkan kenaikan 15,4 persen dibandingkan bencana pada 2018. Pada tahun lalu, tercatat 1.774 bencana. Jumlah korban meninggal dan hilang pada tahun lalu 181 orang, sedangkan tahun ini 390 orang. Jumlah korban luka-luka 503 orang, yang mengungsi 2.149.886 jiwa dan rumah rusak mencapai 26.969 unit.

Global Assessment Report (2011) memperkirakan bahwa kerugian akibat bencana rata-rata mencapai 1% dari PDB per tahun. Kerugian dunia akibat kejadian bencana sejak tahun 2003 hingga 2012 ditaksir lebih dari 2,7 triliun dolar Amerika. Untuk Indonesia, dampak fiskal bencana secara nasional memang masih tergolong kecil. Bencana terdahsyat tsunami Aceh tahun 2004 misalnya memiliki kerugian setara 0,3% dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Indonesia. Persentase tersebut akan terasa besar di tingkat daerah yaitu mencapai 45% dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Aceh.

Baca juga:  Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Perbatasan

Hampir 90 persen sumber dana penanggulangan bencana dari pemerintah pusat, padahal pemerintah hanya mampu mengalokasikan dana bencana sekitar Rp 4 triliun per tahun. Implikasi ini akan semakin besar dan kompleks jika dikaji terhadap sektor industri serta perdagangan dan jasa. Bencana antropogenik tahunan besar dan merata secara nasional adalah bencana hidrometeorologi. BNPB melaporkan bahwa 100 tahun terakhir, bencana hidrometeorologi mendominasi kejadian bencana alam.

Bencana antropogenik terjadi akibat kelakuan manusia merusak keseimbangan lingkungan. Konsekuensi demi meminimalisasi bencana antropogenik adalah mengimplementasikan manajemen lingkungan secara terpadu. Keterpaduan yang dibutuhkan andalah antarsektor, antarpihak, dan antarwilayah. Pemimpin bertanggung jawab menjadi fasilitator upaya ini.

Pemimpin, baik eksekutif maupun legislatif mesti memiliki komitmen politik hijau. Pemimpin yang baru hasil pilkada nanti wajib kiranya melek ekologi dan mengarusutamakan lingkungan demi pembangunan berkelanjutan. Legislator baru juga penting peduli agenda lingkungan yang dibuktikan dengan produk legislasi dan penganggaran yang pro-lingkungan. Orientasi pertumbuhan ekonomi tidak boleh mengorbankan lingkungan yang ujungnya menyebabkan datangnya bencana.

Baca juga:  Tumpek Landep, "Otonan Idep" Bukan Motor

Sektor swasta perlu tanggap terhadap kebutuhan lingkungan. Program sosial atau CSR dapat didayagunakan untuk pemberdayaan masyarakat dalam mengelola lingkungan. Izin lingkungan juga harus dipenuhi sejak awal hingga melaksanakan rekomendasi pengelolaan lingkungannya.  Masyarakat dituntut peka dan tanggap terhadap dinamika lingkungan. Hasil survei Program Climate Asia (2013) mengungkapkan bahwa informasi perubahan iklim masih kurang di kalangan warga Indonesia. Hanya, 19 persen masyarakat yang mendengarkan prakiraan cuaca serta 11 persen yang memiliki persiapan bencana. Kondisi ini menuntut upaya ekstra kaitannya dengan penyebaran informasi dan pelaksanaan edukasi.

Pasal 28H Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengamanatkan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia. Kondisi lingkungan hidup yang baik dan sehat menjadi kunci minimalisasi bencana antropogenik. Seluruh warga saatnya diajak berpartisipasi demi mengurangi risiko bencana akibat ulah manusia. Tantangan penanggulangan bencana yang semakin rumit membutuhkan keberadaan personel yang kompeten. Tugas kemanusiaan sekaligus beban finansial akan terkurangi melalui optimalisasi mitigasi dan pengurangan risiko bencana secara terpadu dan berkelanjutan.

Penulis, Deputi Direktur Center for Public Capacity Acceleration (C-PubliCA)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *