Suasana simulasi tanggap bencana tsunami yang digelar Desa Canggu. (BP/dok)

Hidup di negeri rawan bencana sudah seharusnya menjadi pemahaman bersama. Tantangan dan risikonya juga harus dipahami. Namun, yang lebih penting juga untuk dilakukan adalah sikap waspada dan tanggap terhadap bencana.

Selama ini, edukasi terhadap gerakan tanggap bencana sudah relatif sering dilakukan. Edukasi ini mestinya tak hanya menjadi tanggung jawab Badan Penanggulangan Bencana Nasional (Basarnas) dan jaringannya di daerah, tetapi semua elemen harus bergerak.

Bencana merupaan hal pasti, namun kita tahu kapan akan terjadi. Kecerdasan memprediksi potensi bencana mungkin sudah menjadi  keahlian sebagian orang atau kewenangan lembaga Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) di negeri ini. Namun, kapan bencana akan terjadi belum ada pihak yang berani memastikan.

Maka untuk itu, adalah hal yang wajib juga bagi semua penduduk di negeri ini untuk membangun budaya tanggap bencana. Gerakan ini haruslah menjadi semacam pengetahuan melekat bagi setiap penduduk mengingat potensi bencana begitu tinggi di negeri ini.

Baca juga:  Memudahkan Akses Dunia Pendidikan

Yang kita pahami selama ini, Indonesia diapit dua samudera dan dua benua, serta secara geologis berada di tiga lempeng teknonik yang sering kali mengalami pergeseran atau gesekan, maka memang negeri ini sering dilanda bencana. Kebakaran karena letaknya di kawasan garis katulistiwa yang beriklim tropis, banjir, gempa bumi, gunung meletus, dan tsunami.

Namun, negeri ini dikaruniai keindahan serta kesuburan yang luar biasa. Tinggal bagaimana memanfaatkannya dengan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat. Tentu ini merupakan tugas dari pemerintah pusat sampai ke tingkat bawah di daerah-daerah.

Tidak hanya bagaimana  mengelola kekayaan alam, tetapi juga bagaimana menerapkan manajemen dalam mengantisipasi serta menghadapi bencana. Setidaknya semua mesti siap. Ada koordinasi semua pihak sehingga semuanya berjalan sinergis.

Baca juga:  Panutan Dalam Peradaban Baru

Tidak ada yang luput dari pantauan sehingga semua memperoleh bantuan. Informasi pun mestinya begitu. Tidak semua bisa memberikan keterangan sehingga membingungkan. Mesti dari satu pintu yang secara resmi ditunjuk pemerintah.

Dengan demikian, apa dan bagaimana terkait bencana itu secara teratur dapat diterima serta dimengerti semua pihak. Tidak ada yang boleh sendiri-sendiri memberikan informasi sehingga menimbulkan kebingungan, ketidakpastian dan bahkan keresahan menjurus ketakutan.

Sudah banyak contohnya. Menghadapi aktivitas vulkanik Gunung Agung misalnya. Begitu banyak berseliweran informasi di media sosial dan bahkan di media resmi sekalipun. Bahkan, celakanya lagi banyak terjadi ketidaksinkronan keterangan, data, informasi serta penjelasan terkait yang justru diberikan pihak pemerintah. Ini ironis.

Data serta fakta yang sering berubah-ubah itu membingungkan. Apalagi banyak dari masyarakat kita secara tidak bertanggung jawab justru menyebarkan berita bohong atau hoax di media sosial. Ini membuat masyarakat bingung, resah, dan menuntut kepastian. Mana yang benar dan mana yang tidak benar. Banyak hoax bermunculan, itu tandanya kita belum dewasa bermedia sosial.

Baca juga:  Dua Hari Bali akan Hadapi Fenomena "Tanpa Bayangan", Ini Jadwalnya

Yang jelas, ke depan untuk membangun gerakan tanggap bencana, harus ada gerakan yang kontinu. Kita mungkin melakukan sikap tanggap bencana jika kita hanya melakukan antisipasi pas ada bencana. Jika memungkikan, sikap tanggap bencana hendaknya dibangun sejak dini. Yang paling efektif adalah lembaga pendidikan.

Dukungan politis dalam hal ini juga sangat penting. Setidaknya, pengalokasian anggaran dana kebijakan mitigasi bencana haruslah jelas. Terlebih pada saat musim kemarau yang berpotensai menimbulkan ganggaun terhadap cadangan pangan nasional akibat gagal panen dan buruknya kualitas hasil pertanian.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *