Dunia pendidikan setiap awal tahun menjadi perhatian publik. Bukan karena prestasi dan mutu pendidikannya yang diperdebatkan. Publik justru memperdebatkan akses untuk bisa diterima di sekolah.
Fakta ini memang sulit dicarikan solusi ketika kemelut mengakses dunia pendidikan sedang panas. Kini ketika situasi sudah landai dan waktu untuk mengatasi masalah lebih banyak, ada baiknya para pihak melakukan dialog. Mendesain sebuah sistem mengakses dunia pendidikan yang berpihak kepada kepentingan anak dan orangtua siswa sangatlah mendesak untuk dilakukan. Jangan lagi membuang waktu dengan berbagai alasan.
Sistem penerimaan siswa baru, mungkin satu hal mendesak dan harus segera dirumuskan lebih awal. Sistem baku yang memberikan hak dan kewenangan insan pendidikan secara lebih terbuka tampaknya juga perlu dikaji dan dipertimbangkan. Mungkin juga otonomi sekolah bisa dipertimbangkan untuk menentukan pola dan model perekrutannya.
Saat ini, memang kita merasa tak ada kepentingan mendesak untuk membicarakan sistem zonasi karena proses pembelajaran sudah dimulai. Tapi ketika kita melihat dampak zonasi bagi siswa dan orangtua siswa, maka tanggung jawab moral harus dibangun. Pemerintah harus bertanggung jawab terhadap keresahan publik yang ditimbulkan oleh sistem ini.
Sepanjang waktu itu terbuka dan ada, ada baiknya kita mulai mengingat kembali betapa ribetnya penerimaan siswa baru pada awal tahun ajaran 2019-2020. Kita tentu tak ingin terjebak lagi pada situasi semacam itu. Maka ada baiknya segeralah menata diri saat situasi aman dan nyaman untuk memikirkan solusi atas dampak zonasi sistem pendidikan.
Mungkin juga menyiapkan infrastruktur pendidikan bisa dirancang lebih awal. Ini agar kita tak bicara keperluan gedung, bangku dan tenaga pendidik saat masalah itu ada di hadapan kita. Saat ini sudah dapat kita petakan berapa kebutuhan ruang kelas, daya tampung, dan potensi anak tak tertampung tahun depan.
Dengan estimasi itu, kita harus bergerak menyiapkan solusi dan antisipasinya. Jika ini dilakukana lebih awal, maka potensi keresahan bisa dipetakan sejak dini dan bisa dicarikan jalan keluarnya. Cerdas merancang sistem yang berpihak pada kepentingan anak didik adalah sebuah kewajiban bagai para pihak yang terlibat di dalamnya.
Pemerintah harus mampu meyakinkan anak didik bahwa fasilitas pendidikan ke depan bisa mereka akses dengan cara-cara yang terukur dan transparan. Kita jangan selalu menjadikan pendidikan nasional ajang uji coba. Sedikit-sedikit hasil studi banding di luar negeri sudah dijadikan acuan untuk mengubah sistem.
Ada baiknya kita merumuskan sistem sesuai situasi dan kondisi kita di negeri ini. Cara-cara yang lebih riil dan sejalan dengan kondisi kita dalam merumuskan aturan tentu akan lebih diterima di masyarakat. Jangan melakukan perombakan sistem tanpa melihat daya dukung dan infrastruktur yang ada.
Semua hendaknya didasari studi lapangan dan kepekaan menyerap aspirasi publik. Kita jangan sampai memaksakan ambisi dan target dalam merumuskan sistem dalam dunia pendidikan. Semua harus bergerak secara terencana dan masalahnya tetap harus diurai dengan solusi yang berpihak kepada persamaan hak mendapatkan pendidikan yang layak.
Tentunya butuh waktu bagi masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan perubahan sistem penerimaan peserta didik baru. Terutama bagi masyarakat perdesaan yang berlatar belakang pendidikan rendah, dikhawatirkan dapat mengurungkan niat untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi karena kurangnya pengetahuan akan perubahan sistem yang terjadi.
Inilah yang harus diperhatikan bersama. Selama ini, sistem dan perubahannya kurang diinformasikan. Kalaupun informasi itu ada, waktunya sangat mepet dengan pelaksanaannya.
Jadi, budaya komunikasi dalam mengelola dunia pendidikan juga sangat diperlukan. Informasi dan komunikasi hendaknya juga menjadi bagian dalam merumuskan pola baru dalam mengatasi dampak zonasi pendidikan.