Koperasi identik dengan ekonomi kerakyatan. Banyak problem yang belum mampu dicarikan jalan keluarnya. Di antaranya, keandalan pelakunya dari sisi kemampuan material, finansial sampai kepada pemasaran.
Koperasi memang bukan hal baru. Bukan sesuatu yang baru menjadi perhatian pemerintah. Walaupun sudah ‘’digawangi’’ satu kementerian sejak orde lama, tetap saja koperasi belum bergerak secepat yang diinginkan.
Harapannya tentu tidak semata-mata menjadi sebuah gerakan moral, tetapi benar-benar menjadi sebuah gerakan ekonomi yang kuat. Menjadi sokoguru perekonomian negara.
Prinsip atau nilai demokrasi yang diajarkan dalam proses pengelolaan kelembagaan koperasi dan UMKM memiliki sinergi dalam cita-cita mewujudkan demokrasi ekonomi. Demokrasi ekonomi bukti keberpihakan kepada rakyat. Landasan setiap kebijakan ekonomi untuk, atas, dan oleh rakyat. Inilah yang menjadi fokus Menkenpok pada era kerja-kreja-kerja ini.
Namun faktanya, koperasi masih belum menjadi sokoguru perekonomian negara. Setidaknya sampai sejauh ini masih belum mengarah ke sana. Banyak penyebabnya.
Selain SDM, penyebab lainnya juga karena pemerintah tidak sepenuh hati membuat institusi ini berkembang dengan baik. Iklim yang dikembangkan membuat koperasi tidak bisa bertahan atas gempuran lembaga ekonomi yang lain.
Itulah sebabnya banyak sekali koperasi di negeri ini yang mati suri. Hidup enggan mati tak mau. Kini bahkan banyak dicabut izinnya karena sudah terbukti tak mempunyai aktivitas.
Langkah ‘’mematikan’’ koperasi ini tentu sangat realistis. Sebab selama ini banyak lembaga koperasi namun tidak banyak yang berjalan secara baik.
Seringkali ada koperasi yang dulunya sangat berjaya, kemudian malah tidak berdaya. Akibat salah urus mismanajemen dan memang tak kuat bersaing.
Oleh karena itu, Menteri Koperasi dan UKM beserta jajarannya harus menciptakan momentum penguatan koperasi. Sebagai lembaga penggerak ekonomi rakyat memiliki potensi untuk memacu terwujudnya demokrasi ekonomi.
Demokrasi ekonomi memiliki unsur pemerataan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Unsur tersebut sejalan dengan nilai-nilai sosial pada kelembagaan koperasi.
Profesionalisme dalam rentang waktu yang cukup lama, sepertinya kurang tampak pada pengelolaan koperasi. Masih sering kita dengar banyak koperasi yang terpaksa ditutup oleh pemerintah karena tidak menjalankan usahanya secara profesional, yakni taat dalam melaksanakan Rapat Anggota Tahunan (RAT) yang selama ini menjadi salah satu indikator kesehatan sebuah koperasi.
Padahal, jika kita lihat gembar-gembor gerakan koperasi itu adalah dari, oleh, dan untuk anggota, seharusnya ‘’campur tangan’’ pemerintah sampai menutup sebuah koperasi tidaklah perlu sampai terjadi. Jika sudah berlaku yang namanya hukum ekonomi, kalau tidak profesional, kalah bersaing, otomatis akan mati sendiri. Apalagi koperasi ini sangat jelas segmen pasarnya, yakni para anggotanya.
Ketika perkembangan koperasi tersebar luas, tentunya akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, gerakan revitalisasi koperasi harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari semangat demokrasi ekonomi.
Dengan memasukkan kekuatan moral lokal di masing-masing daerah dan tentu saja support pemerintah serta perbankan, maka akan membuat iklim tumbuhnya koperasi makin bagus. Dia akan mampu kemudian menghidupkan mesin-mesin usaha mikro, kecil dan menengah. Apalagi kemudian banyak bank menyuntikkan modal dengan syarat lunak.
Banyak profesi serta usaha kecil tradisional yang dimiliki daerah di Indonesia. Banyak sektor informal yang bergerak nafasnya seirama dengan koperasi yang perlu suntikan modal, kemampuan manajerial sederhana sehingga mereka bisa survive.