Ilustrasi. (BP/ant)

Kebinekaan telah menjadi identitas bangsa ini. Kebinekaan juga telah memberi warna pada kehidupan kita dalam berbangsa. Tanggung jawab merawat kebinekaan tentu juga harus menjadi bagian tak terpisahkan dari semua golongan yang ada di negeri ini.

Memasuki usia ke-74 tahun, mengawal kebinekaan dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mestinya sudah menjadi budaya dan menguat. Tentu menjadi ironis ketika ancaman terhadap kebinekaan menguat ketika berhadapan pada pilihan politik yang muaranya hanya untuk kekuasaan temporer.

Kita harus mengabaikan semua kepentingan kelompok apalagi personal yang bertendensi pada runtuhnya kebersamaan dalam konteks nasionalisme. Kini memasuki usia ke-74 tahun NKRI, kita mestinya sudah mempererat rasa toleransi dan menjauhkan diri dari niat mengubah  ideologi negara. Kita tak boleh menjauh dari spirit perjuangan dan mestinya harus tetap setia pada keragaman dalam bingkai NKRI.

Baca juga:  Antara "City Tour" dan Desa Wisata

Maka sangatlah wajar jika kebinekaan kita posisikan sebagai salah satu pilar pengawal NKRI. Bhineka Tunggal Ika hendaknya tetap menjadi spirit berbangsa. Kita sadari bersama juga bahwa Indonesia harus menghadapi berbagai macam cobaan akhir-akhir ini.

Serangan teroris manusia telah terjadi sejak tahun 2001 ketika terjadi bom Bali. Teroris bunuh diri itu memilih sasaran yang paling strategis industri wisata Indonesia. Belum tuntas masalah teroris manusia itu ditangani pemerintah, kini guncangan sosial muncul lagi dengan adanya gangguan-gangguan pada bidang hubungan antarsuku, ras dan agama di Indonesia.

Dalam konteks negara dan kemasyarakatan, persoalannya tidak sekadar serangan siber tersebut. Akan tetapi, berbagai serangan yang dilakukan melalui dunia maya ini telah mendapatkan predikat yang sama dengan apa yang terjadi di dunia nyata, yaitu teroris dan pembajakan.

Baca juga:  Menguatkan Kebinekaan demi Kerukunan Bangsa

Ini menandakan tingkat kekhawatiran sosial sudah tinggi terhadap ancaman siber itu. Mereka yang menyerang disebut dengan teroris karena datangnya tiba-tiba dan menyerang bagian vital dari unsur kehidupan manusia. Misalnya data orang sakit, data perbankan, rahasia negara dan sebagainya.

Serangan terhadap unsur-unsur tersebut jelas mampu mengguncang mental dan psikologis individual, kelompok, lembaga, dan negara. Secara individual misalnya, orang akan khawatir kalau data-data sakitnya di rumah sakit bisa hilang dan disandera.

Demikian juga halnya data perbankan, apalagi rahasia negara. Sedangkan penahanan dan “pelenyapan” data di komputer akibat ulah sang teroris itu, disebut pembajakan. Ini disebabkan karena sang penyerang akan mampu mengembalikan data itu apabila ada bayaran atau tebusan yang diberikan.

Mencermati beragam serangan terhadap eksistensi NKRI termasuk potensi keretakan internal akibat menguatnya fanatisme, maka salah satu kekuatan yang harus diteguhkan dan dikukuhkan adalah jiwa nasionalisme. Momentum peringatan hari kemerdekaan ini hendaknya menjadi perekat kembali, bahwa bersatu adalah hal paling mendesak yang harus kita wujudkan dalam menjaga NKRI. Kita tak boleh abai dalam hal ini apalagi terseret pemikiran pragamatis.

Baca juga:  Pendekatan Budaya dalam Memproteksi Kawasan Hulu

Pesta politik negeri ini yang telah berakhir dengan kedamaian, juga patut kita syukuri. Kesadaran para elite politik untuk tetap haramoni dalam perbedaan politik adalah kekuatan baru dalam mengawal NKRI. Mudah-mudahan apa yang dipertunjukkan di muka publik terkait dengan silaturahmi politik ini  bukan kamuflase belaka.

Mudah-mudahan juga harmonisasi ini bukan berorientasi kekuasaan semata. Jauh dari itu, harmoni dalam perbedaan pilihan politik adalah bentuk terbangunnya kesadaran menjaga NKRI.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *