Pelestarian dan penguatan budaya Bali terus gencar diwacanakan. Terakhir, mencuat aspek pendanaan untuk kedua tujuan tersebut. Muncul usulan agar ada semacam pemberian tunjangan menjaga adat dan budaya Bali kepada karyawan atau pekerja Bali dalam tiap penerimaan gajinya.
Mengingat, masyarakat (pekerja) Bali memiliki komitmen yang tidak perlu diragukan lagi dalam menjaga adat dan budaya Bali. Bahkan, ini sudah menjadi bagian kehidupan mereka. Karena ini pula, Bali begitu terkenal ke seantero jagat hingga pariwisata Bali berkembang pesat seperti sekarang. Yang diusung pun pariwisata budaya.
Terkait yang terakhir ini, Pemerntah Provinsi Bali juga memastikan akan melakukan pungutan 10 dolar AS per wisatawan yang masuk ke Bali. Pungutan ini akan dibebankan pada tiket masuk bagi wisatawan asing. Bahkan, hal ini akan dituangkan dalam bentuk peraturan daerah (perda).
Pihak terkait pun sedang terus menggodok dan melakukan sosialisasi mengenai hal ini. Semua muaranya untuk melestarikan dan menguatkan budaya Bali. Termasuk, pungutan sejenis yakni Pajak Hotel dan Restoran (PHR) sebelumnya yang pengelolaan dan peruntukannya sempat menjadi sorotan.
Selain memikirkan menggali sumber-sumber pendanaan untuk pelestarian dan penguatan budaya Bali, juga harus dipikirkan pengelolaannya secara baik, benar, dan transparan. Bisa dan boleh saja dana yang terkumpul dari sektor pariwisata disisihkan untuk tunjangan karyawan ber-KTP Hindu Bali sebagai pengusung dan pendukung budaya Bali. Itu perlu komitmen khusus para pemberi/tempat kerja karyawan bersangkutan. Sementara yang dipungut dari wisatawan, perlu komitmen tinggi pemungut/pengumpul untuk menyalurkannya sesuai peruntukannya. Sesuai nama pungutan dan tujuan mulia pungutan itu dikenakan, yakni untuk melestarikan dan menguatkan kebudayaan Bali.
Kebudayaan Bali saat ini masih hidup hampir di seluruh pelosok Bali. Pendukung kebudayaan ini sudah tentu manusia Bali. Karena itu, yang perlu penguatan adalah manusia Bali. Salah satunya mereka yang menjadi karyawan/pekerja tadi. Yang lainnya dan jumlahnya justru lebih banyak, tersebar di pelosok perdesaan Bali. Bahkan, boleh dikatakan merekalah penjaga sekaligus pelaku utama kebudayaan Bali ini. Kita semua tahu, tiap kali ada upacara seperti piodalan, karya dan hari raya keagamaan lain di Bali, mereka inilah yang sangat sibuk melakoninya sepenuh hati. Bisa saja mereka bukan menjadi pekerja/karyawan penerima gaji tadi. Agar ada rasa keadilan dan pemerataan, maka mereka pun haruslah mendapat tunjangan untuk menjaga adat dan budaya Bali.
Untuk mereka-mereka ini, selama ini banyak dibantu melalui Lembaga Perkreditan Desa (LPD). Banyak LPD yang mampu membiayai upcara di desa tempat mereka berdiri sehingga meringankan bahkan menghapus beban peturunan (semacam iuran) yang biasanya dibebankan kepada mereka. Karenanya, alangkah bijaknya jika berbagai dana yang berhasil dikumpulkan dari pariwisata dan pendapatan daerah lainnya disimpan dan disalurkan ke LPD. Penguatan LPD sebagai lembaga keuangan masyarakat perdesaan maupun perkotaan di Bali, secara langsung dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat setempat. Sekaligus, menjadi penguatan dan pelestarian budaya Bali.
Pertanyaannya sekarang, akankah atau maukah berbagai dana dari pariwisata maupun pendapatan daerah lainnya disimpan di LPD untuk dimanfaatkan bagi penguatan dan pelestarian adat dan budaya Bali? Diharapkan, hal ini masuk dalam perda mengenai kontribusi wisatawan untuk adat dan budaya Bali.
Mekanismenya sudah tentu menjadi kewajiban para pakar di bidangnya untuk memikirkannya. Kalaupun tidak memungkinkan, paling tidak ada regulasi yang mengatur hal ini sebagai bukti komitmen pemerintah terhadap pelestarian dan penguatan budaya Bali. Jangan lagi, hal ini menjadi wacana yang blunder yang kemudian lenyap disapu waktu. LPD haus dikuatkan untuk melestarikan, menjaga, dan menguatkan kebudayaan Bali.