DENPASAR, BALIPOST.com – Kulit sapi kerap dipakai sebagai bahan dasar pembuatan hiasan (accessories) pada kostum tari dan properti tari. Namun, kebutuhan ini sekaligus membuka jalan untuk lebih mengeksploitasi hewan pemamah biak tersebut.
Dari sinilah, Anak Agung Gede Agung Rahma Putra, S.Sn.,M.Sn memiliki ide untuk memakai bahan dasar lain yakni lem tembak. Inovasi pria yang akrab disapa Gung Rahma ini bahkan mengantarkannya meraih anugerah Silpakara Nugraha Kategori Kreativitas dan Inovasi Masyarakat di Bidang IPTEKS Tahun 2019 dari Bappeda Litbang Provinsi Bali.
Gung Rahma menerima tanda penghargaan insigne emas dan piala Silpakara Nugraha yang diserahkan langsung Gubernur Bali Wayan Koster dalam Peringatan Hari Jadi Ke-61 Provinsi Bali di Lapangan Niti Mandala Renon, Denpasar, Rabu (14/8). Hasil karya pria asal Puri Muncan Kapal, Mengwi, Badung ini berupa teknik kreatif pembuatan hiasan pada kostum tari dan properti tari. Secara khusus, terkait dengan kreativitas dan inovasi teknologi pelestarian dan pengembangan seni budaya Bali.
“Di sini mempergunakan lem tembak sebagai bahan pembuatan aksesoris tari. Saya tidak menggunakan bahan dari kulit sapi karena menghindari eksploitasi sapi itu sendiri. Makanya saya coba menggunakan teknik yang lain,” tuturnya usai menerima anugerah Silpakara Nugraha.
Gung Rahma mengaku ingin berkontribusi pula dalam upaya pengurangan timbulan sampah plastik sekali pakai. Namun, ia tak menampik bila lem tembak terbuat dari plastik.
Justru lewat inovasinya, penggunaan plastik secara langsung diubah fungsinya dengan kreativitas. Lem tembak juga mudah dicari dan lebih murah dari kulit sapi. “Okelah kalau tradisi yang di Pura-Pura, yang memang sakral, kita tetap menggunakan bahan kulit sapi, tidak masalah. Yang ini maksud saya untuk mengurangi, karena dalam pembuatan ogoh-ogoh misalnya, juga ada beberapa yang memakai hiasan menggunakan kulit sapi,” jelasnya.
Menurut Gung Rahma, penggunaan lem tembak tidak mengurangi esensi dasar hiasan Bali itu sendiri. Teknik kreatif membuat hiasan dari lem tembak ini sebetulnya telah dicetuskannya sejak 2014 dan sudah memiliki HaKI sejak 2016.
Sejumlah pemuda di banjar-banjar maupun komunitas, sudah mengaplikasikannya. Ia berharap, generasi muda bisa lebih kreatif dan bisa menemukan inovasi lain yang lebih bagus. “Walaupun sudah dipatenkan, bukan berarti saya melarang orang lain menggunakan teknik saya. Justru saya sangat senang sekali kalau memang generasi muda siapapun itu menggunakan teknik saya dengan bagus. Saya akan berterimakasih sekali,” imbuhnya. (Rindra Devita/balipost)