Era pemerintahan Presiden Joko Widodo pada periode pertama bisa kita lihat bagaimana pembangunan infrastruktur digenjot secara ”terstruktur, sistematis, dan masif”. Titik-titik yang dulunya tidak tersambung kini mulai terhubung.
Daerah-daerah yang dulunya tidak terjangkau, kini mulai mengenal moda transportasi. Daerah-daerah yang dulunya terpencil, kini sudah terbuka dan membuka diri.
Ruang gerak mulai dilebarkan. Tujuannya jelas, pemerintah lewat pembangunan infrastruktur ingin menggenjot ekonomi lebih kencang dan roda perekonomian menjadi lebih laju putarannya.
Tidak hanya di Pulau Jawa, titik-titik itu mulai dihubungkan, tetapi juga sampai di Papua. Semakin menyatunya simpul-simpul itu menjadi sebuah rantai yang utuh maka akan memudahkan sektor perekonomian bergerak secara leluasa.
Dampak ikutannya adalah ekonomai semakin bergairah, daya beli meningkat, daya saing menguat, dan masyarakat tidak lagi atau terlalu dibebani oleh ekonomi biaya tinggi akibat tingginya biaya transportasi serta logistik. Sebegitu jauh, pemerintah memang berhasil, tetapi mesti dilakukan lagi upaya-upaya yang lebih keras serta tegas agar jalan ini lancar. Tidak ada lagi oknum-oknum yang bermain untuk kepentingan sendiri atau kelompoknya.
Sementara pada periode kedua pemerintahannya ini, tentu episode soal infrastruktur itu akan dilanjutkan lagi sambil tentu saja membenahi sektor-sektor lain. Sebab, akan percuma saja kalau yang lainnya tidak terurus. Memang, sebagai negara kepulauan, kondisi geografis ini akan menjadi hambatan.
Rentang serta luas wilayah juga akan memberi pengaruh. Namun, sepanjang itu ada komitmen serta integritas dari pemerintah serta pihak-pihak terkait maka soal apa pun, logistik bahan pangan, manufaktur, serta sektor jasa akan terkoreksi nilainya jika sampai ke tangan masyarakat yang memerlukan.
Biaya-biaya yang tidak perlu bisa dipangkas. Pelabuhan-pelabuhan mesti ditata sehingga lama waktu (dwelling time) tidak lagi terlalu lama sehingga menyebabkan harga lebih melambung. Sikap serta integritas aparat pun mesti dibuat lempeng, tidak berkelok-kelok. Soal mental juga masih menjadi masalah.
Di tengah kompleksnya masalah yang ada serta membelit, Presiden Jokowi serta kabinetnya harus menunjukkan bahwa dia memang pantas untuk melanjutken ke periode yang kedua. Kalau ada yang bilang, edisi kedua hanya untuk leha-leha, tentu sangat tidak benar. Harus lebih keras kerjanya. Harus lebih cerdas kerjanya. Tidak cukup hanya kerja, kerja, dan kerja.
Di tingkat lokal, apa yang dilakukan Gubernur Wayan Koster soal memotong variabel ekonomi biaya tinggi bisa dilihat salah satu contohnya. Sebagai daerah pariwisata yang punya daya tarik menyebar, pembangunan shortcut tentu salah satu ide bagus.
Di samping sebuah gagasan besar untuk membangun bandara baru di kawasan Bali Utara. Tentu tidak ingin para wisatawan terjebak kemacetan parah sehingga waktu mereka banyak terbuang sia-sia. Tentu tidak ingin melihat mereka batal ke suatu objek wisata gara-gara jalan satu-satunya ke sana rusak parah. Pembangunan infrastruktur juga penting. Tidak hanya jalan raya, jalan tol, atau apa pun itu.
Juga bagaimana membangun kesinambungan titik-titik serta jalur wisata yang ada sehingga terjadi pemerataan. Aksesibilitas tidak cukup ampuh untuk menggiring mereka ke sana. Juga mesti dimbangi oleh integritas semua pihak, khususnya insan pariwisata untuk membangun sebuah link yang mampu mencapai wilayah ini sampai ke ujung.