AMLAPURA, BALIPOST.com – Setiap musim panen raya tiba, harga jual salak Bali di daerah Sibetan, Karangasem terjun bebas. Bahkan pernah terjual dengan harga Rp 1.000 per kilogram. Kondisi ini tentu sangat membebani petani yang bergantung dari hasil panen salak balinya.
Dari sinilah, petani dari Desa Sibetan, Bebamdem, Karangasem mengolah buah salak menjadi produk olahan yang lebih bernilai jual, seperti kopi salak, kurma salak, cuka salak hingga teh salak. Ketua Agro Abian Salak, Sibetan, Bebandem, Karangasem, Nyoman Mastra mengatakan awal munculnya ide untuk membuat produk olahan dari buah salak ini pada 2011.
Saat itu, ia melihat banyaknya biji salak yang bertebaran di kebunnya. ”Biji ini keluar dari kotoran hewan yang makan salak. Saya kumpulkan. Dan tidak jauh dari tempat saya temukan biji salak ada kopi yang habis dimakan kelelawar. Saya kumpulkan juga,” ujarnya.
Dari penemuan ini, terbersit ide untuk mengkombinasikan biji salak yang sudah terfermentasi di perut hewan ini dengan buah kopi yang dimakan kelelawar. Berulang kali dicoba mulai dari pengeringan hingga penyangraian sehingga biji salak memiliki ukuran yang sama dengan biji kopi, akhirnya pihaknya menghasilkan produk kopi salak. ”Ternyata saat dikonsumsi aman tidak membuat keracunan. Hingga pada 2013 kami digandeng salah satu perguruan tinggi untuk melakukan penelitian zat yang dikandung kopi salak ini,” jelas Mastra.
Hasilnya, ternyata kopi salak ini mengandung antioksidan yang sangat tinggi. Kopi salak ini juga memiliki kandungan kafein yang rendah sehingga baik dikonsumsi orang yang memiliki penyakit maag.
Tidak hanya membuat produk berupa kopi salak, lanjut Mastra pihaknya juga membuat produk olahan lainnya dari salak seperti teh salak, kurma salak, madu salak hingga cuka salak. Harga yang ditawarkan untuk produk olahan ini cukup mahal. Mengingat bahan baku salak terbatas.
Untuk kopi salak dihargai Rp 50.000 per 100 gram. Untuk teh salak Rp 20.000 per 100 gram. Untuk kurma dijual di harga Rp 20.000 hingga Rp 30.000 per kemasan.
Lewat produk olahan ini, Mastra berharap bisa meningkatkan pendapatan petani salak Bali di desa Sibetan, utamanya saat panen raya. ”Ke depan kami memiliki tujuan saat panen raya, 50 persen hasil panen dijual mentahan ke pasaran alias tanpa diolah. Tigapuluh persen untuk dibuat produk olahan dan 20 persen untuk memenuhi permintaan buah salak wisatawan yang datang ke Sibetan,” ujarnya. (Wira Sanjiwani/balipost)