Oleh Djoko Subinarto
Kongres V Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang digelar di Bali, dan berlangsung dari Kamis (8/8) hingga Sabtu (10/8), mengusung tema bertajuk ‘’Solid Bergerak untuk Indonesia Raya’’ dengan subtema ‘’PDI-P Menuju Partai Pelopor dan Modern’’.
Tentu, bukan tanpa alasan PDI-P mengusung subtema tersebut. Sebagai salah satu partai politik terbesar di Republik ini memang seharusnyalah PDI-P menjadi sebuah partai pelopor dan juga partai modern. Bahkan, bukan hanya PDI-P, tetapi semua partai politik di negeri ini idealnya mesti mewujud sebagai partai pelopor dan modern.
Kita sama-sama tahu, keberadaan partai politik dalam sebuah negara demokrasi adalah sebuah keniscayaan. Partai politik merupakan salah satu elemen penting dari sebuah mesin demokrasi.
Secara teoretis, salah satu fungsi utama partai politik adalah untuk menyeleksi para kandidat yang bakal diikutsertakan dalam ajang pemilihan umum, baik itu untuk kepentingan pemilihan legislatif maupun pemilihan eksekutif, untuk level lokal maupun nasional.
Para kandidat yang telah terseleksi kemudian ditawarkan kepada publik calon pemilih dengan harapan publik menjatuhkan pilihan kepada mereka di saat pemungutan suara dilangsungkan. Problemnya adalah: selama ini partai-partai politik kita masih lemah dalam hal perekrutan dan kaderisasi. Buntutnya, partai politik lebih banyak melahirkan para politisi tuna-ideologi, yang lebih mengedepankan kepentingan kelompok ketimbang kepentingan publik.
Sistem perekrutan dan kaderisasi partai-partai politik kita saat ini masih kerap kurang selektif dan terkesan asal comot. Rekam jejak, kredibilitas, kemampuan dan pemahaman ikhwal politik dan kebangsaan kerap diabaikan dalam sistem perekrutan dan kaderisasi partai-partai politik di negeri ini.
Akibat sistem perekrutan dan kaderisasi yang asal-asalan, partai-partai politik kita sejauh ini cenderung hanya menjadi kendaraan demi memburu rente dan kekuasaan para anggotanya. Bukan rahasia lagi, selama ini kebanyakan orang berbondong-bondong masuk menjadi anggota partai politik bukan untuk mengabdi, tetapi untuk mencari kedudukan dan uang. Ujung-ujungnya, biaya atau ongkos politik kita menjadi sangat mahal. Buntutnya, politik uang (money politics) sulit sekali dihindari.
Partai-partai politik yang diharapkan menjadi wahana bagi perjuangan ideologi yang militan telah dibonsai menjadi sekadar wahana bagi perjuangan-perjuangan jangka pendek yang sifatnya transaksional. Partai politik tidak ubahnya seperti perusahaan tempat kita mengejar kedudukan dan materi. Pada kondisi seperti ini, para anggota partai politik menjadi orang-orang yang sangat pragmatis. Pengabdian, kesetiaan, idealisme menjadi hal langka dan sangat mahal.
Dengan mengusung semangat pragmatisme inilah para politisi kita dengan sangat mudah pula berganti-ganti baju partai politik — disesuaikan dengan agenda kepentingan mereka. Kondisi ini akhirnya memunculkan apa yang populer disebut sebagai politisi kos-kosan dan politisi kutu loncat. Di sisi lain, partai-partai kita pun semakin miskin secara ideologis. Inilah yang menjadi salah satu persoalan besar jagat kepartaian kita saat ini.
Partai-partai politik di negeri ini agaknya perlu berkaca pada sistem perekrutan dan kaderisasi yang dilakukan partai-partai politik di negara lain yang sistem demokrasinya telah mapan. Di sejumlah negara, untuk sekadar menjadi anggota sebuah partai politik, seseorang tidak hanya cukup mendapatkan kartu keanggotaan partai, tetapi juga harus rutin membayar iuran wajib dan rajin mengikuti kegiatan partai secara teratur.
Bagi mereka yang memiliki ambisi besar untuk meniti karier politik seperti menjadi anggota parlemen, misalnya, haruslah melalui tahapan proses yang panjang lewat sistem magang politik, yang lebih banyak menuntut pengorbanan. Selama masa magang inilah, kinerja anggota partai tersebut diawasi secara ketat oleh partainya.
Partai-partai politik di sana sangat selektif dalam memilih para anggotanya dan calon-calon pemimpinnya. Akan menjadi sebuah mimpi di siang bolong jika seseorang dengan modal popularitas dan kekuatan kapital semata tiba-tiba saja bisa mencalonkan diri menjadi anggota parlemen.
Perekrutan dan kaderisasi secara selektif merupakan sesuatu yang harus diutamakan dalam kehidupan partai politik. Mereka yang tertarik masuk ke sebuah partai politik wajib diberi pemahaman bahwa partai berorientasi pada pencetakan kader, perumusan visi dan misi serta program. Partai-partai politik harus mempunyai pijakan ideologi yang kuat dan para anggota serta calon anggotanya harus sadar ikhwal ideologi partai yang wajib mereka perjuangkan (Bambang Cipto, 1996).
Sistem perekrutan dan kaderisasi partai-partai politik di negeri ini harus lebih baik dan lebih selektif. Mesin partai harus benar-benar mampu mencetak kader-kader partai yang militan dengan pijakan ideologi yang kuat. Idealisme, reputasi dan prestasi harus dinomorsatukan dan menjadi landasan utama partai politik dalam menominasikan para anggotanya untuk memegang jabatan-jabatan politik yang strategis. Untuk bisa menjadi partai pelopor dan partai modern, partai-partai politik mesti mampu menjawab sekurangnya tiga tantangan berikut ini.
Pertama, mampukah partai-partai politik kita mengusung perubahan baru bagi jagat kepartaian kita, sehingga kepercayaan masyarakat kita terhadap partai politik terus meningkat? Kedua, mampukah partai-partai politik kita menjadi mesin penggerak terciptanya tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) yang selama ini rakyat idam-idamkan namun belum benar-benar mewujud.
Ketiga, mampukah partai-partai politik kita menjadi rahim bagi lahirnya para pemimpin yang hanya fokus memikirkan bagaimana memajukan dan menyejahterakan negara, bangsa dan rakyat negeri ini secara merata dan seadil-adilnya. Jika tantangan-tantangan itu nanti berhasil dijawab oleh partai-partai politik di negeri ini, maka status sebagai partai pelopor dan partai modern layak disematkan kepada partai-partai politik kita.
Penulis, kolumnis dan bloger