DENPASAR, BALIPOST.com – Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI) Provinsi Bali menyediakan Drop In Center (DIC) atau rumah singgah untuk kaum temarjinalkan yang mengalami kasus atau sedang sakit. Rumah singgah yang berlokasi di Jalan Raya Sesetan ini diperuntukkan tidak hanya untuk anggota OPSI, tapi juga untuk kaum temarjinalkan yang lain seperti waria, pekerja seks, homoseksual, dan lainnya.
Koordinator Rumah Singgah OPSI Bali, Melati, mengatakan, rumah singgah yang baru terbentuk Februari 2019 itu didapat dari bantuan OPSI Pusat. “Rumah singgah OPSI Bali adalah wadah bagi teman–teman yang termajinalkan untuk pemberdayaan, learning center,” ujarnya Senin (19/8).
OPSI Bali bergerak di bidang advokasi di dalam bidang HAM, edukasi kesehatan, dan lainnya. Didirikannya rumah singgah, karena di Bali belum ada rumah atau tempat yang mengakomodir kaum temarjinalkan ketika mengalami permasalahan. “Rumah singgah ini bukan khusus untuk rumah singgah anggota OPSI saja, tapi untuk semua komunitas. Membantu teman–teman yang sakit, tapi tidak punya rumah,” jelasnya.
Sejak aktif kembali Februari 2019, di rumah singgah bersama OPSI Bali itu sudah menangani satu kasus dan terselesaikan. Kasus yang dialami yaitu kliennya yang mendapatkan ancaman dari pasangannya.
Ada juga klien yang membutuhkan tempat tinggal yang dekat dengan tempat pengobatannya di RSUP Sanglah. Kaum temarjinalkan yang mengalami kekerasan dapat tinggal di rumah singgah selama 7 hari.
Sementara yang lainnya yang mengalami sakit dapat tinggal di rumah singgah hingga dinyatakan sembuh oleh dokter. Selama tinggal di DIC, mereka yang mengalami masalah tersebut juga diberikan biaya untuk konsumsinya sehari–hari.
Tidak hanya memberi perlindungan rumah dan konsumsi, OPSI Bali juga memberikan pendampingan bekerjasama dengan LBH APIK dan YLBHI. “Lembaga ini membantu kami dalam menjembatani kami dengan pengadilan. Kami hanya mendampingi klien kami agar mereka tidak merasa sendiri. Sedangkan kami di OPSI melakukan mediasi, tidak langsung berhubungan dengan hukum, karena kami takut. Biasanya teman–teman komunitas takut karena masalah hukum itu berkelanjutan atau di pertengahan jalan mereka kasihan dengan suami atau pacar mereka,” bebernya.
Yang bisa dilakukan adalah memediasi korban dengan pelaku agar tidak terjadi masalah yang serupa. Proses mediasi ini juga diakhiri dengan perjanjian di atas kertas.
Rata–rata kasus yang dialami yaitu kekerasan dari pasangan dan tamu mereka baik kekerasan fisik maupun psikologi. “Kalau dari tamu, kita biasanya mencari tahu kronologi kejadian dan mencari saksi untuk mempermudah kami ke LBH,” ujarnya. (Citta Maya/balipost)