GIANYAR, BALIPOST.com – Rangkaian Karya Agung Dirgayusa Bumi di Pura Dalem Beng dan Gianyar, Kamis (22/8-2019) dilanjutkan dengan ritual Nyenuk.
Nyenuk berawal dari Pura Dalem, Desa Adat Abianbase.

Setelah melakukan ritual serta persembahyangan, iringan Nyenuk yang diikuti ribuan krama adat dua desa ini menuju Pura Dalem Beng dan Gianyar.
Apa makna nyenuk?

Kegiatan ritual masyarakat Hindu di Bali selalu unik. Rasa syukur dengan penuh kebersamaan itu tak hanya diwujudkan dalam persembahan banten atau sesajen, tetapi juga dalam bentuk seni. Baik itu seni tembang (lagu), gamelan (musik), tari dan drama (teater).

Seperti dalam ritual Nyenuk ini. Ini adalah upacara sebagai ucapan rasa syukur bahwa upacara besar yang telah dilakukan berlangsung lancar. Rangkaian dari upacara tersebut diisi dengan persembahan drama yang sarat filsafat dan makna.

Baca juga:  52 Tapakan Ratu Gde Ikuti Prosesi Katuran di Pura Natar Sari Apuan

Terkait dengan ini, dosen Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Dr. Dra. Ida Ayu Tary Puspa, S.Ag, M.Par mengatakan, nyenuk merupakan penutupan atau pengakhiran upacara Dewa Yadnya yakni ngenteg linggih. Upacara ini menggambarkan sebuah perjamuan yang sacral dengan menghadirkan tamu-tamu suci pada upacara ngenteg linggih seperti halnya penjamuan dalam kehidupan duniawi. “Upacara ini juga sebagai isyarat kepada warga masyarakat, kalau upaca besar yang sudah dilkukan telah usai,” katanya.

Dalam sistem upacara memungkah ngenteg linggih, jelas Tary Puspa, mulai dari upacara maguru dadi, selanjutnya maguru piduka (nyukat), nyengker karya (meyasa kerti), ngentegang karya, dan nuwur tirta pamuket. Kemudian dilanjutkan ritual ngingsah, nuwur tirta pakuluh, marebu (mesapuh-sapuh di prhyangan), melasti dan mapekelem, mapepada agung, caru tawur agung, puncak karya mamungkah, ngelemekin, makebat daun, negebekin, nyenuk, majejiwan, nyineb karya, dan nyegara gunung.

Baca juga:  Purnawan Cetuskan Tari Topeng Gambuh

Dalam upacara nyenuk, masyarakat yang menjadi pengayah dipilih yang piawai bicara dan bisa akting. Masyarakat kemudian dibagi menjadi kelompok yaitu kelompok tamiu (tamu) dan kelompok yang punya upacara sebagai penyambut tamu.

Iring-iringan nyenuk, masyarakat yang berperan sebagai tamiu membawa hasil bumi, berbagai jenis jajan, tipat dan bantal. Kelompok tamiu biasanya dibagi menjadi lima sebagai yaitu kelompok pertama membawa padupan dengan memakai busana putih.

Kemudian kelompok 2 berpakaian merah, kelompok 3 pakaian kuning, kelompok 4 pakai hitam dan kelompok 5 pakai pakaian warna warni (loreng). Para tamu ini kemudian berjalan beriringan lengkap dengan barang-barang menuju tempat orang menggelar upacara.

Baca juga:  Anggara Kasih Medangsia, Pura Uluwatu Gelar Pujawali

Selama perjalanan itu ada adegan penyapaan, tanya jawab antara tamiu dan penyambutnya. “Pada dasarnya penyapaan itu dilakukan pada tiga tempat yaitu di jalan, kemudian di depan upacara nyenuk dan di tempat upacara nyenuk berlangsung,” terangnya.

Di dearah Tabanan, penyapaan itu biasanya diawali dengan nyanyian tradisional yaitu “bibi bibi rangda, lamun tulus karyan bibi, …. “. Selanjutnya penyambut tamu bertanya dari mana, membawa apa, dan sebagainya.

Jawab tamu seperti dari sidakarya, Jati Luwih, Wanagiri, sebuah nama desa yang memiliki makna baik dengan harapan memberi makna baik dalam upacara itu. Misal Sidakarya yang artinya bisa berkarya baik, jatiluwih : memang benar-benar baik. (kmb/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *