Ilustrasi. (BP/dok)

Oleh GPB Suka Arjawa

Unjuk rasa yang terjadi di Papua dan Papua Barat beberapa waktu lalu menandakan bahwa persoalan keindonesiaan itu belum beres. Dibeberapa tempat di daerah itu meletus kerusuhan yang sebelumnya dimulai dari unjuk rasa. Dan peristiwa ini terjadi sebagai akibat ketersinggungan adanya bentuk pelecehan atau ujaran rasial di Malang dan Surabaya.

Peristiwa di Surabaya terjadi dikarenakan ada isu perobekan bendera merah putih di Asrama Papua di Surabaya. Rincian peristiwa itu saja sudah menandakan bagaimana rapuhnya keindonesiaan tersebut. Sebagian menyatakan kalau berita-berita itu kabar bohong, tetapi kekerasan yang terjadi telah memperlihatkan masih diperlukannya perjuangan untuk mengatasi persoalan negara ini.

Kita katakan terlebih dahulu bahwa media sosial menjadi perantara yang mampu membuat berbagai isu tersebut dengan cepat. Namun demikian, meskipun tidak ada media sosial yang menjadi pengantar percepatan tersebut, adanya (isu) perobekan bendera dan ujaran rasial merupakan dasar dari konflik.

Artinya, meskipun media sosial tidak mengantarkannya lebih cepat ke permukaan, di masa depan justru konflik terpendam ini akan menjadi letusan besar. Di sini, apaboleh buat percepatan peristiwa karena media itu justru mempercepat kesadaran kita bangsa Indonesia, bahwa masih ada masalah dalam kasus papua ini. Dengan demikian, diharapkan penanganan kasusnya juga akan menjadi lebih cepat.

Dalam kasanah konflik, deprivasi relatif merupakan salah satu teori  yang menggambarkan bagaimana konflik itu muncul. Di sini disebutkan kurang lebih bahwa ketidakpuasan muncul  karena janji-janji yang diberikan oleh pemerintah terlalu jauh dari harapan masyarakat. Jauhnya harapan inilah yang dapat menimbulkan kekecewaan.

Jika dielaborasi dan dikembangkan, teori ini dapat saja mengacu kepada kebutuhan ekonomi, sarana sosial sampai dengan tingkat asimilasi masyarakat. Maksudnya, bagaimana masyarakat setempat tidak merasa direndahkan, dilecehkan atau bentuk apapun lainnya yang dapat menyinggung perasaan. Itulah sebabnya, faktor psikologis juga harus dipertimbangkan.

Baca juga:  Tantangan Privatisasi Pantai Bali

Papua merupakan wilayah yang sangat luas, termasuk pulau terbesar di Indonesia. Dalam hal kekayaan alam, sudah tidak diragukan lagi apabila kekayaan alam Papua mempunyai tingkat kemanfaatan yang tinggi. Ini tercermin dalam perusahaan Freeport McMoran.

Dari kacamata ini saja dapat memunculkan kecemburuan. Misalnya sejauh mana kekayaan tersebut dapat dinikmati oleh masyarakat Papua. Dari persentase itu, seberapa jauh benar sesuai dengan janji-janji yang telah diberikan oleh pemerintah.

Persentase yang dijanjikan kepada masyarakat setempat dengan ketepatan prosentase itu sampai di masyarakat akan dapat menimbulkan permasalahan apabila tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Misalnya, dapat saja masyarakat Papua tidak setuju mendapatkan enam persen sehingga menimbulkan protes. Atau mungkin setuju enam persen, tetapi fakta yang sampai di arus bawah ternyata jauh lebih rendah dari enam persen. Inilah yang membuat masyarakat tidak puas berlipat.

Dari sisi sarana pembangunan juga seperti itu. Dalam konteks geografis Papua yang bergunung-gunung bahkan berhutan, maka yang paling utama sarana pembangunan yang menjadi prioritas adalah sarana perhubungan, yaitu jalan dan angkutan udara.

Di sini janji-janji terhadap pembangunan sarana dan prasarana ini haruslah  hati-hati diucapkan. Sebab, kesalahan dalam memberikan janji akan mendapatkan tafsiran yang berbeda di masyarakat.

Membangun sarana perhubungan di wilayah seperti Papua, kiranya tidak dapat dilakukan secara eksak. Artinya, janji-janji yang diucapkan kemungkinan keliru. Molornya pembangunan (misalnya dari setahun menjadi satu setengah tahun) akan menjadi masalah bagi masyarakat, dan akan menjadi ketidak puasan laten.

Baca juga:  Menjadi Guru Inovatif

Pemerintah Indonesia sudah berbuat maksimal apabila dilihat dari psikologi politik. Ini terlihat pada pengubahan nama Irian dengan Papua pada masa pemerintahan Gus Dur. Perubahan ini sangat psikologis dan menyentuh karena Irian mempunyai kepanjangan “Ikut Republik Indonesia Anti Netherland”.

Sedangkan Papua adalah sebutan bagi masyarakat di sana yang sudah menjadi identitas batin mereka. Juga ada kebijakan membantu warga Papua dan pemuda di daerah Papua untuk sekolah dengan keistimewaan tertentu.

Kalau boleh jujur, di perguruan tinggi ada prioritas untuk masyarakat dari wilayah ini untuk menyelesaikan pendidikan. Secara konkrit, kalaupun ada nilai yang sedikit kurang, akan dapat disesuaikan agar menjadi terpenuhi.

Sebab, dari kacamata pendidikan manusia akan dapat mengedukasi dirinya dalam perkembangan kehidupan sosial selanjutnya. Presiden Jokowi juga sering melakukan kunjungan ke daerah Papua. Tentu tujuannya untuk menyatakan bahwa tidak ada beda antara Indonesia bagian timur dengan bagian tengah dan barat.

Ini merupakan bagian dari kebijakan psikopolitis yang bertujuan untuk menekan “jarak” antara Papua dengan daerah lainnya di Indonesia. Akan tetapi pendekatan psikologis seperti ini memang memerlukan jangka waktu untuk mendapatkan hasilnya. Untuk proses inilah memerlukan kecerdasan dan kesabaran.

Dalam proses deprivasi relatif ada semacam kekaburan terhadap kesenjangan. Artinya, bagaimana masyarakat merespons janji pemerintah dengan kenyataan yang ada. Seperti yang telah disebutkan, bahwa konflik akan muncul apabila masyarakat tidak melihat kesesuaian antara janji elit dengan apa yang ada pada realitas masyarakat.

Pada titik inilah kesenjangan itu dapat terjadi. Pada masyarakat setempat (semisal Papua), mungkin ada kekurangsabaran untuk menunggu janji pemerintah untuk menjadi realitas. Sebab, dalam hal pembangunan fisik, membangun Papua memang memerlukan tantangan dan kesabaran. Atau bisa jadi memang pemerintah lambat atau bahkan tidak memberikan bantuan secara maksimal.

Baca juga:  4,2 Persen Penderita Hepatitis B Dialami Bayi Dibawah Lima Tahun

Di sinilah yang harus diperhatikan. Kalau memang konteksnya kurang sabar, haruslah diberikan penjelasan dan juga pendidikan diperluas di daerah tersebut. Manakala pemerintah lambat, tidak lain solusinya dipercepat saja.

Barangkali yang paling bagus adalah dengan cara diam-diam melaksanakan pembangunan tersebut secara konsisten sehingga janji-janji ini tidak dapat ditafsikan macam-macam. Pembangunan harus dilakukan secara konsekuen.

Ada cara lain untuk memperbaiki rasa percaya diri dan lebih mendekatkan diri dengan masyarakat papua, yaitu dengan mendekatkan diri secara politis dalam bentuk “pameran”. Diperlukan diplomasi sosial untuk mendekatkan diri dengan masyarakat Papua. Diselenggarakannya PON (Pekan Olahraga Nasional) di Papua nanti merupakan salah satu dari cara tersebut.

Untuk event-event olahraga berskala nasional, semisal kejuaraan bulu tangkis dunia, tidak salah juga diselenggarakan di Papua. Karena itu venue PON nanti harus dipelihara dengan baik. Soal penonton dapat dimobilisasi. Kontak antarapenonton Papua dengan atlet yang berasal dari luar Papua akan memberikan sentuhan keindonesiaan.

Tidak salah juga, kepala negara atau Presiden menerima tamu-tamu yang berasal dari kawasan Pasifik dilakukan di Papua saja. Ini akan lebih mendekatkan masyarakat Papua dengan Indoensia. Presiden adalah simbol Indonesia juga dan tamu-tamu itu adalah tamu Indonesia. Memberikan pengumuman menteri baru pada kabinet nanti, tidak keliru jika dilakukan di Papua.

Penulis, Staf Pengajar Sosiologi FISIP Universitas Udayana

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *