Oleh I.B. Arya Lawa Manuaba, M.Pd.
Berbagai upaya mulai digiatkan kembali oleh pemerintah untuk melestarikan bahasa dan sastra Bali. Gebrakan pertamanya ada di Bandara Ngurah Rai, yang waktu itu sempat viral lantaran tulisan perdananya sedikit menyimpang dari pasang pageh. Kini, orang bisa melihat aksara Bali bermekaran di mana-mana seperti bunga-bunga indah di musim semi.
Mulai dari papan nama instansi pemerintah, hotel berbintang hingga toko bangunan dan warung kopi, semua dibubuhi aksara Bali. Yang masih menjadi pekerjaan kita bersama adalah tentang bahasa Bali. Apa saja permasalahan yang kita hadapi terkait pelestarian bahasa Bali? Bagaimana bahasa Bali bisa bertahan di era desruptif?
Mau tidak mau, bahasa Bali mesti melakukan perubahan. Apabila zaman berubah, maka bahasa Bali juga hendaknya mengikuti zaman. Ini yang disebut sebagai shifting.
Mengikuti zaman bukan berarti bahasa Bali diubah menjadi bahasa lain yang lebih populer. Mengikuti zaman berarti bahwa bahasa Bali mesti bergerak sedikit lebih lincah di arung jeram zaman.
Ada dua permasalahan pokok yang dihadapi oleh bahasa Bali di era milenial ini, yakni masalah dari dalam bahasa Bali sendiri dan dari luar. Dari dalam, bahasa Bali masih kekurangan kosa kata untuk istilah-istilah populer yang sering dipakai.
Orang masih sulit ketika harus mengatakan, “kematangan emosi”, “tanggung jawab”, “pejalan kaki”, “orang asing” atau “jalur satu arah” dalam bahasa Bali. Padahal, istilah-istilah itu kerap dipakai dalam komunikasi sehari-hari. Banyak lagi contoh lainnya.
Dari luar, bahasa Bali menghadapi kendala dalam fungsinya sebagai pengantar. Bahasa Bali di era milenial ini belum memiliki fungsi efektif sebagai bahasa perdagangan, politik atau ekonomi. Bahasa bagaikan sebuah perahu yang harus didorong oleh tenaga air dan angin.
Bahasa Inggris, misalnya, punya kekuatan karena dipakai sebagai bahasa pengantar dalam arus ekonomi global yang kuat. Kini, muncul pula bahasa Mandarin sebagai tanda-tanda kebangkitan ekonomi Tiongkok.
Sementara itu, bahasa Bali belum menemukan arus yang bisa membawanya sebagai bahasa yang diperlukan banyak orang. Gadget, internet, dan buku ditulis dalam bahasa yang kuat secara ekonomis, sehingga dengan sendirinya orang-orang memakai bahasa tersebut.
Lalu apa yang bisa diperbuat terkait kedua permasalahan ini? Ada beberapa alternatif yang kiranya efektif dan efisien untuk membuat bahasa Bali memiliki power, yakni dengan menggandengkannya bersama kekuatan ekonomi, pariwisata, politik dan budaya.
Mesti disadari bahwa bahasa bagaikan orang lumpuh, dan sektor ekonomi-pariwisata bagaikan orang buta tanpa dibantu bahasa. Bahasa mesti membonceng di sektor ekonomi dan pariwisata agar bisa bertahan dan lestari.
Arus yang paling kuat di Bali adalah arus ekonomi dan pariwisata. Karena itu, bahasa Bali harus dimasukkan ke dalam arus yang kuat ini. Pengusaha dan pelaku ekonomi yang mapan di Bali harus ngayah menjadi influencer dan agen shifting dengan cara menjadi pelopor penggunaan bahasa Bali.
Mereka bisa memasang label harga di toko-toko mereka dengan bahasa Bali dan Inggris (walaupun bukan aksara Bali) seperti domas, sasur, nem bangsit dan sebagainya. Karena mereka adalah kekuatan ekonomi, maka masyarakat pasti mencari mereka. Dengan sendirinya istilah-istilah bahasa Bali akan semakin populer.
Kedua, para pemimpin dan petinggi pemerintah harus mencintai bahasa Bali dan menggunakannya dalam interaksi birokrasi. Sangat baik di beberapa daerah di Bali telah ada rapat-rapat formal berbahasa Bali dan hari berbahasa Bali. Ini adalah sebuah langkah yang luar biasa.
Langkah ketiga yang bisa dilakukan adalah menerjemahkan istilah-istilah populer ke dalam bahasa Bali. Saat para pelaku ekonomi gencar menyosialisasikan bahasa Bali di toko-toko mereka, maka para cendekiawan Bali ngayah juga untuk mengadopsi, mengadaptasi dan menerjemahkan berbagai istilah kekinian ke dalam bahasa Bali.
Dengan demikian, kosa kata bahasa Bali akan menjadi semakin kaya. Cara ini efektif untuk memperkuat suatu bahasa, bahkan bahasa Inggris yang sudah begitu populer sekalipun.
Mereka yang memiliki pengaruh di media sosial, remaja-remaja Bali yang follower-nya ribuan, serta para influencer yang subscriber-nya segudang bisa turut memopulerkan bahasa Bali. Jadi, ini adalah semacam program endorsement. Satu influencer bisa mengajak ribuan orang untuk memakai sepatu merek tertentu. Mengapa tak menggunakan peluang ini untuk mengajak banyak orang berbahasa Bali?
Terakhir, segala sesuatu mesti kembali pada diri setiap krama Bali. Menurut Krashen dan Vygotsky, dua psikolog kondang dari dunia Barat sana, belajar hanya bisa terjadi dalam lingkungan alamiah. Artinya, harus ada dorongan dari dalam diri setiap krama Bali bahwa bahasa Bali itu perlu dan penting.
Karena itu, lingkungan (ekonomi, pariwisata, budaya) yang mendukung perkembangan bahasa Bali harus diciptakan dan dijaga terlebih dahulu sebelum bahasa Bali bisa tumbuh dengan subur. Lalu bagaimana jika semua itu tidak berhasil juga? Atau, bagaimana jika semua itu membutuhkan waktu yang amat panjang? Sepanjang ada usaha, maka hasil tentu mengikuti.
Barangkali yang perlu kita kaji bersama adalah sejauh mana batas-batas bahasa Bali bisa dikatakan sudah lestari. Apakah sebatas orang bisa meyapa dengan bahasa Bali lumrah atau sampai dia bisa menjelaskan siklus air dalam bahasa Bali total? Semua itu kembali kepada opini Anda.
Penulis adalah dosen linguistik di STKIP Suar Bangli