DENPASAR, BALIPOST.com – Senyum merekah terpancar dari wajah Ni Putu Putri Suastini saat menuntaskan bagian akhir puisi “Merah Putih” dalam gladi Drama Kolosal Gajah Mada Reborn di Panggung Terbuka Ardha Candra, Art Center, Kamis (29/8) malam. Perempuan yang akrab disapa Bunda Putri ini tampak puas dengan iringan tabuh dari Sanggar Pancer Langiit.
Walaupun gladi tersebut adalah kali pertama mereka bertemu sebelum nanti tampil dalam satu panggung. Bunda Putri yang juga istri Gubernur Bali Wayan Koster itu tak sungkan duduk lesehan bersama panitia dan pendukung acara lainnya.
Bahkan meski angin malam berembus dingin. Bunda Putri tetap anggun dalam balutan kebaya merah yang menjadi ciri khasnya.
Puisi “Merah Putih” yang diciptakannya sendiri di Jayasabha, baru saja rampung pada 25 Agustus lalu. Puisi ini dibuat secara khusus untuk merayakan Puncak HUT Ke-71 Bali Post lewat pentas drama kolosal, Sabtu (31/8) malam. “Kadang kan kalau sudah inspirasi, dia bisa mengalir, muncul saja kalimat berikutnya. Nanti tinggal dibaca lagi, o…di sini kurang enak, diedit lagi. 2 malam itu jadi dia,” tuturnya.
Padahal, Bunda Putri mengaku sudah setahun “vakum” menulis puisi. Kesibukan sebagai Ketua Tim Penggerak PKK Provinsi Bali dan Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Bali membuat konsentrasinya terbagi untuk tugas-tugas itu.
Jangankan menulis puisi, waktu untuk tidur saja dirasa kurang. “Tapi ketika ada waktu lowong, dia seperti mata air yang tiba-tiba saja basah oleh inspirasi di pikiran. Ambil HP, buka FB (facebook), lalu nulis, jadilah dia,” katanya.
Seperti yang menjadi ciri khasnya, puisi “Merah Putih” juga diawali dengan kalimat-kalimat doa. Seperti “Om Awighnam Astu”, “Om Pangaksama Ninghulun”, “Om Rang Ring Sah Parama Siwa Raditya Ya Namo Swaha”.
Di tengah-tengah pembacaan puisi, Bunda Putri juga menyelipkan kata-kata yang sering diucapkan dalang wayang kulit Bali. Alhasil, Bunda Putri selalu berhasil memukau dan menyentuh batin penonton karena nada suaranya selalu tepat menyuarakan kalimat sedih, ceria, bahkan marah.
“Di awal itu adalah doa sebagai pembaca puisi agar apa yang disampaikan membuat bahagia para penonton,” ungkapnya.
Yang menarik, puisi untuk drama kolosal Gajah Mada Reborn ini rupanya akan dijadikan sebagai puisi andalan sekaligus judul antologi puisi Bunda Putri dari trilogi “Bunga Merah”, “Rumah Merah”, dan “Merah Putih”. Secara substansi, puisi “Merah Putih” masih terkait dengan cerita tentang Mahapatih Gajah Mada, Majapahit, dan sekelumit peristiwa yang terjadi kala itu.
Namun, ada pula sentuhan masa kini. Pesan dalam setiap lariknya jelas untuk menjaga NKRI tetap satu dibawah merah putih. “Dulu leluhur kami berjaya, kita punya kerajaan yang menyatukan nusantara. Saat itu juga terjadi pemberontakan, sekarang bukan tidak mungkin bibit-bibit seperti itu ada. Tetapi bagaimana kita belajar dari masa lalu, belajar dari sejarah itu, sehingga tidak ada paregreg yang kedua,” jelasnya.
Bunda Putri mengajak semua komponen masyarakat untuk selalu ingat dengan jas merah. Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah tentang kejayaan Majapahit yang begitu berdarah-darah menyatukan nusantara.
Dari Sumpah Palapa yang dicetuskan Gajah Mada, mahapatih di Majapahit tersebut pantang mengenyam nikmat sebelum cita-cita itu tercapai. Oleh karena itu, jangan sampai ada niatan dari anak cucu atau keturunan nusantara yang ingin memporak-porandakan NKRI.
Sementara pemimpin dalam mewujudkan tujuan dari kepemimpinannya mesti fokus, tulus, dan lurus. Hal itulah yang didengungkan lewat puisi. “Lewat kesenian juga bisa kita tanamkan nilai-nilai luhur para pendahulu kita. Nilai-nilai nasionalisme di setiap dada anak bangsa,” imbuhnya.
Drama Kolosal Gajah Mada Reborn bukanlah kali pertama Bunda Putri ikut terlibat sebagai pengisi acara yang digelar Kelompok Media Bali Post. Ia mengaku senang karena Bali Post ketika merayakan ulang tahunnya, sengaja atau tidak, membuka ruang-ruang untuk seniman.
Sesedikit apapun waktu yang disediakan, seniman tetap bisa berkreasi di sini. Termasuk ia sendiri yang diberi panggung sehingga bisa melepas rindu untuk membaca puisi.
Meski dalam kesehariannya menjalankan tugas sebagai istri gubernur, Bunda Putri juga kerap diminta oleh masyarakat untuk membaca puisi. “Rasanya tidak tega kalau nolak karena masyarakat yang meminta, jadi bukan ibu yang memaksa mencari panggung. Bagi ibu sesungguhnya sudah selesai. Ibu tinggal mendukung, mendorong anak-anak ibu untuk berkesenian, karena dari situ mereka mengolah estetika dan etika, jati dirinya sebagai anak Indonesia, terutama sebagai anak-anak yang ada di Bali yang mesti mengasah talentanya, menyuburkan hal-hal yang positif dalam dirinya lewat berkesenian,” pungkasnya. (Rindra Devita/balipost)