DENPASAR, BALIPOST.com – Produk rajutan yang diproduksi UKM Bali Rajut yang berlokasi di Jembrana, selama hampir 19 tahun memenuhi permintaan luar negeri seperti Amerika, Singapura, Austria hingga Jepang. Meski mengalami pasang surut semenjak bom Bali, bisnis ini masih tetap eksis dan diminati masyarakat.
Pemilik Bali Rajut, Ketut Suarni mengatakan usaha rajutannya ini dimulai pada tahun 2000. Awalnya ia diperkenalkan oleh temannya ke warga Amerika yang terjun dalam bisnis ekspor rajutan. “Dulu bisa merajut cuma belum ahli. Kemudian coba-coba bawa sampel topi dan ternyata diterima. Kebetulan warga Amerika ini mencari vendor untuk rajutan dalam memenuhi permintaan rajutan di Amerika,” jelasnya.
Suarni kemudian mengembangkan usahanya dari rajutan topi menjadi syal, sarung tangan, tas hingga baju. Untuk bisa memenuhi permintaan rajutan ini, ia melibatkan 50 orang perajin rajutan yang semuanya wanita.
Diakui saat ini permintaan rajutan ke luar negeri hanya dari Austria. “Pasar Amerika sekarang lebih ke produk mesin daripada tangan. Untuk Singapura karena permintaan lebih ke produk tas, kami tidak bisa memenuhi karena biaya pengiriman yang mahal,” jelas Suarni.
Meski demikian, usaha rajutannya tetap berkembang. Untuk bisa menarik pembeli terutama domestik, Bali Rajut kerap mengikuti pameran-pameran dan kemudian menerima pesanan. “Untuk domestik biasanya kita menerima pesanan dulu. Seperti saat PKB kemarin kami banyak menerima pesanan tas,” ujarnya.
Selain mengikuti pameran, Bali Rajut juga menjual produknya secara online. Untuk model, Suarni terus belajar di samping memenuhi pesanan sesuai model yang diberikan pemesan terutama untuk yang ekspor.
Dalam memenuhi bahan baku selama ini ia memesan dari pabrik benang yang ada di Bandung. “Untuk pesanan ekspor harus ada stok benang yang banyak. Jadi tidak bisa dipenuhi dari Bali. Harus dari pabriknya,” ujarnya. (Wira Sanjiwani/balipost)