Foto aerial Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Soeharto di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Sabtu (31/8/2019). Sebagian dari kawasan yang masuk sebagai hutan konservasi itu nantinya akan digunakan untuk wilayah ibu kota baru. (BP/ant)

Oleh Agung Kresna

Rencana pemindahan ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang selama ini masih selalu berada dalam batas wacana, akhirnya menunjukkan ujung akhir. Presiden Joko Widodo mengajukan akan memindahkan ibu kota NKRI dari Jakarta ke Provinsi Kalimantan Timur.

Lokasi ibu kota baru yang ideal adalah di sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian di Kabupaten Kutai Kartanegara. Ide pemindahan ibu kota Jakarta sebenarnya sudah digulirkan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1955. Dalam perjalanannya ide itu juga sudah beberapa kali dibahas ulang oleh beberapa presiden sebelum Joko Widodo.

Benang merah utama yang menjadi dasar pemindahan ibu kota Jakarta adalah upaya membangun azas keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Provinsi Kalimantan Timur yang secara geografis berada di tengah-tengah wilayah Indonesia, dianggap dapat menyama-ratakan jarak ibu kota Negara dengan seluruh wilayah Indonesia.

Selama ini ada kecenderungan bahwa pembangunan Indonesia masih lebih banyak terkonsentrasi di wilayah Pulau Jawa dan wilayah Indonesia bagian barat pada umumnya, karena faktor kedekatan dengan ibu kota Negara. Wilayah Indonesia bagian timur seakan menjadi kawasan yang sedikit terabaikan.

Sejak era presiden Joko Widodo, kondisi ketimpangan itu secara perlahan memang mulai diperbaiki. Berbagai infrastruktur dibangun secara masif di kawasan Indonesia bagian timur. Ketimpangan ekonomi di wilayah yang terpencil pun mulai dibenahi.

Bahan bakar minyak Pertamina yang selama ini di daerah terpencil bisa berharga hingga lima kali lipat harga jual resmi dari Pertamina, mulai bisa dijual dengan harga yang sama di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini dalam rangka membangun azas keadilan ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia. Sehingga Negara benar-benar hadir di seluruh pelosok wilayah nusantara.

Baca juga:  Presiden Bertemu Para Menlu dan Sekjen ASEAN

Posisi Jakarta sebagai ibu kota Indonesia, secara geografis memang berada di wilayah barat Indonesia. Sementara kawasan Indonesia Timur memang terasa sangat jauh dari ibu kota Indonesia. Sehingga warga bangsa di sana sering merasa jauh dari jangkauan kebijakan pemerintah Indonesia. Situasi ini seringkali menimbulkan adanya rasa ketidak adilan sebagai sesama warga negara Indonesia. Masyarakat yang berada sangat jauh dari ibu kota negara merasa tidak memperoleh perhatian yang setara dengan warga yang berada dekat ibu kota.

Luas wilayah Indonesia yang membentang dari Sabang hingga Merauke serta dari Miangas hingga Pulau Rote, memang bukan wilayah yang kecil. Tebaran sekitar 17.504 pulau yang ada di Indonesia menunjukkan betapa luasnya wilayah negeri Indonesia. Bentang astronomis Indonesia yang berada di antara 95o BT (Bujur Timur) hingga 141o BT, memaksa wilayah Indonesia harus berada dalam tiga daerah/zona waktu yang berbeda. Sehingga memang tidak mudah menebarkan azas keadilan bagi seluruh warga bangsa ini.

Revolusi Standar Waktu

Narasi pemindahan ibu kota Negara selama ini lebih banyak didominasi oleh wacana kemampuan daya dukung sosial, ekonomi, budaya, dan lingkungan dari ibu kota baru nantinya, jika dibandingkan dengan Jakarta sebagai ibu kota yang lama. Lokasi ibu kota baru di Provinsi Kalimantan Timur memang disebut memiliki keunggulan dalam hal risiko bencana alam (utamanya gempa) yang kecil. Hampir tidak ada wacana.

Letak Jakarta sebagai ibu kota Negara di Pulau Jawa yang berada dalam daerah Waktu Indonesia Barat (WIB), telah menjadikan WIB sebagai standar utama waktu di Indonesia. Sementara jika nanti ibu kota NKRI berada di Provinsi Kalimantan Timur yang masuk daerah Waktu Indonesia Tengah (WITA), dengan sendirinya WITA akan menjadi standar utama waktu di Indonesia. Kondisi ini akan mengubah paradigma (mindset) waktu bagi seluruh kegiatan di Indonesia, utamanya kegiatan perekonomian.

Baca juga:  Terlambat, Transportasi Massal Dibangun di Kota Besar Indonesia

Dengan selisih durasi waktu selama satu jam antarsetiap zona waktu di Indonesia, selama ini kawasan Indonesia Timur memiliki keterlambatan durasi waktu selama dua jam dari standar utama waktu Indonesia (WIB). Sementara jika nanti ibu kota Negara berada di Provinsi Kalimantan Timur, maka WITA akan menjadi acuan utama untuk segala jenis kegiatan di Indonesia. Dengan sendirinya akan terjadi azas keadilan waktu bagi seluruh wilayah Indonesia. Kawasan Indonesia Timur dan Barat, masing-masing hanya akan memiliki selisih waktu satu jam dengan standar utama waktu di Indonesia.

Perubahan paradigma ini akan mengubah konstelasi ekonomi dan sosial-budaya masyarakat di seluruh wilayah NKRI. Tidak ada lagi kesenjangan waktu yang lebih dari satu jam, karena seluruh wilayah Indonesia akan menggunakan WITA sebagai acuan waktu utamanya. Kesenjangan atas waktu yang sudah terjadi selama ini (utamanya dengan Indonesia Timur), dengan sendirinya akan terpangkas dan tentu akan memberi dampak ekonomi yang positif bagi seluruh kawasan Indonesia.

Lepas dari revolusi standar utama waktu di Indonesia yang nantinya akan terjadi membangun sebuah ibu kota yang baru memang memerlukan keberadaan berbagai daya dukung terhadap eksistensi sebuah kota masa depan. Tidak cukup hanya dengan kesiapan teknis perencanaan dan pendanaan semata. Namun pertimbangan daya dukung lingkungan harus menjadi rujukan utama bagi sebuah kota yang baru. Beberapa hal yang harus dicermati dalam membangun sebuah kota baru antara lain sebagaimana berikut ini.

Baca juga:  Peran Tokoh Adat dalam Penyelesaian Batas Indonesia

Pertama, harus ada konsep filosofi kotanya. Filosofi kota menjadi jiwa sebuah kota. Sebuah kota tanpa memiliki filosofi, bagaikan kota yang tidak memiliki soul (jiwa). Filosofi kota akan tampil secara fisik sebagai berbagai landmark kota, beserta segala elemen kota seperti jenis vegetasi/tanaman, taman, tatanan jalan, signage/penanda/petunjuk, serta asesoris kota lainnya.

Kedua, kota baru yang dibangun harus memiliki sustainability secara jangka panjang. Di sinilah perlunya daya dukung lingkungan yang memadai. Lingkungan kota yang baru tersebut harus memiliki kapasitas dalam mendukung keberlangsungan kehidupan kota tersebut secara sehat. Karena kota disiapkan dari awal, maka lokasi terpilih harus benar-benar bebas dari kemungkinan terpaan bencana alam. Kebanyakan kota yang ada sekarang karena tumbuh secara alami, maka risiko bencana alam biasanya belum disiapkan.

Segenap warga bangsa Indonesia tentu berharap dapat memiliki ibu kota Negara yang representatif dan layak dibanggakan sebagai kota berkelas dunia, sebagai wajah bangsa Indonesia. Ibu kota Negara Indonesia harus mencerminkan sebuah kota masa depan yang mampu mendukung kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya warganya secara sehat fisik maupun mental. Utamanya dalam antisipasi terhadap perkembangan teknologi global yang berlangsung sangat cepat. Namun kota baru tersebut juga harus mendatangkan burung tetap berkicau pada pohon di halaman rumah kita, sebagai tanda kota yang ramah lingkungan.

Penulis, Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *