Oleh Ribut Lupiyanto
Kasus padamnya listrik di sebagian wilayah Pulau Jawa mestinya menjadi pelajaran bersama. Publik bereaksi keras lantaran tidak bisa beraktivitas seharian. Berhentinya pasokan listrik ini membuat layanan publik terganggu. Dunia kelistrikan nasional masih terus mengalami sengkarut pengelolaan.
Mulai dari kerugian, korupsi, kerusakan, layanan minimalis, dan lainnya. Tantangan kelistrikan ke depan semakin berat. Ketersediaan bahan baku energi semakin terbatas, sedangkan permintaan terus melonjak. Solusi dan komitmen telah ditetapkan pemerintah, yaitu penyediaan pembangkit listrik bersumber energi baru dan terbarukan (EBT).
Tragedi pemadaman listrik yang lama diungkapkan PLN karena terjadi black out atau gangguan di sejumlah transmisi. Gangguan sisi transmisi terjadi di Ungaran dan Pemalang 50 kV serta transmisi Sutet 500 kV.
Sedangkan lamanya penanganan disebabkan adanya titik panas saat pendistribusian listrik ke Jakarta dan sekitarnya. Gangguan terdapat pada satu transmisi di arah Cibinong ke Gandul. Energi listrik mempunyai peranan vital dan strategis. Vital terkait hajat hidup orang banyak, dan stategis karena menunjang pembangunan nasional.
Konsekuensinya, listrik mesti diwujudkan secara andal, aman dan ramah lingkungan. Andal dengan jaminan kontinuitas, serta aman terhadap manusia dan lingkungan. Permasalahan ketenagalistrikan banyak sekali, antara lain ambivalensi regulasi, keterbatasan dana, BPP yang lebih tinggi daripada harga jual, ketidakpastian pasokan sumber energi primer (BBM, gas, batu bara), dominasi penggunaan BBM sebagai sumber energi primer, pertumbuhan demand yang lebih tinggi dibanding supply, tantangan geografis, permasalahan pemanfaatan dan lain-lain.
Proyeksi kebutuhan listrik pada tahun 2019 mencapai 59.863 MW. Di sisi lain, pemerintah mencanangkan proyek 35.000 MW. Jika proyek tersebut terealisasi, maka akan terpasang 88.585 MW. Kondisi nantinya akan ada sekitar 40 persen kapasitas listrik yang menganggur.
Data PLN (2017) menyebutkan bahwa saat ini pelanggan listrik terbagi 34 golongan. Antara lain terdiri dari rumah tangga ada tujuh golongan, bisnis tujuh golongan, golongan sosial sebanyak tujuh golongan, golongan industri tujuh golongan, dan publik ada enam golongan.
Jumlah total pelanggan listrik sampai Agustus 2017 mencapai 66 juta pelanggan. Angka ini meningkat dari 50 juta pada tahun 2012. PT PLN (Persero) mencatatkan laba bersih pada kuartal I-2019 sebesar Rp 4,2 triliun. Sedangkan pada periode yang sama tahun lalu perusahaan rugi Rp 6,49 triliun. Laba bersih ini ditopang oleh pertumbuhan penjualan, peningkatan kinerja operasi dan keuangan, serta efisiensi.
Upaya PLN masih belum mampu menyelesaikan masalah listrik. Banyak wilayah yang bahkan masih belum tersentuh listrik. Wilayah yang sudah terpasang jaringan juga tidak sedikit yang mesti setiap hari merasakan pemadaman bergilir. Kondisi faktual kelistrikan ini membutuhkan upaya yang cepat dan solutif. Energi terbarukan menjadi solusi yang harus segera direalisasikan.
Pemerintah telah berkomitmen dalam Paris Agreement Lewat Capaian Target EBT (Energi Baru Terbarukan) 2025. Komitmen komposisi EBT untuk bauran energi tahun 2025 sebesar 23 persen, akan dipenuhi melalui PLTA 10,4 persen, dan PLTP dan EBT lainnya sebesar 12,6 persen.
Untuk memenuhi tercapainya Bauran Energi 23 persen sesuai dengan kebijakan energi nasional di tahun 2025, pemerintah telah menerbitkan beberapa kebijakan, antara lain: Permen ESDM Nomor 50 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Lalu, Permen ESDM Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), serta Kepmen ESDM No. 39 K/20/MEM/2019 tentang Pengesahan RUPTL PLN 2019-2028.
Melalui RUPTL 2019-2028 PT PLN (Persero), Kementerian ESDM telah menginstruksikan PLN agar terus mendorong pengembangan energi terbarukan. Dalam RUPTL terbaru ini, target penambahan pembangkit listrik dari energi terbarukan hingga 2028 adalah 16.765 MW.
Sebanyak 36 pembangkit energi baru terbarukan berkapasitas total 837 MW rencananya akan beroperasi komersial atau Commercial Operation Date (COD) tahun 2019 ini. Pembangkit tersebut terdiri dari 28 proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) berkapasitas total 726 MW, satu Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) berkapasitas 72 MW, lima pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) berkapasitas total 35 MW, serta satu Pembangkit Listrik Tenaga Bio Gas (PLTBG) dan satu pembangkit Listrik Tenaga Bio Massa (PLTBM) berkapasitas masing-masing 0,8 MW dan 3,5 MW.
Wanhar (2019) mengemukakan bahwa peluang Pengembangan EBT di Indonesia masih terbuka lebar. Beberapa kondisi yang memperlihatkan peluang tersebut antara lain: pertama, rasio elektrifikasi di daerah Timur Indonesia masih bisa ditingkatkan. Kedua, harga solar panel yang akan semakin kompetitif. Ketiga, pembangunan PLTB skala kecil yang cocok untuk daerah kepulauan. Keempat, feedstock (untuk biomass/biogas) masih melimpah di beberapa daerah. Kelima, keterlibatan masyarakat dalam penyediaan feedstock. Keenam, penerapan teknologi mesin diesel dengan bahan bakar nabati (BBN).
Pengembangan EBT juga menghadapi beberapa tantangan. Seperti BPP di beberapa wilayah Indonesia yang sudah relatif rendah, sehingga harga keekonomian pembangkit EBT umumnya di atas BPP. Beberapa daerah memiliki install capacity yang kecil sehingga pembangkit EBT intermittent (PLTS dan PLTB) hanya mendapatkan porsi/kuota MW yang kecil.
PLN mesti menyisihkan anggarannya guna pengembangan energi alternatif untuk listrik. Dalam skala nasional, PLN mesti ikut mendukung dan mengupayakan terwujudnya pembangkit tenaga nuklir yang terus mengalami polemik. Energi alternatif ramah lingkungan juga mesti banyak diciptakan terutama di wilayah potensial dan yang sudah terjangkau instalasi listrik PLN. Sumber energi tersebut misalnya mikrohidro, angin, gelombang, bioetanol, panas matahari, panas bumi dan lainnya.
Kompleksitas permasalahan mesti diurai secara sistematis dan berkelanjutan. Kebutuhan listrik ke depan mesti dijamin dengan pengembangan listrik berbasis EBT yang masif. Satu tantangan terbesar yang sudah lama diimpikan namun belum terealisasikan adalah pengembangan listrik bertenaga nuklir yang berskala besar, ramah lingkungan, dan berkelanjutan.
Penulis, Deputi Direktur Center for Public Capacity Acceleration (C-PubliCA)