Pelajar sedang mengkases layanan digital lewat HP. (BP/dok)

Oleh Dr. Ni Made Ratminingsih, M.A.

Paradigma pendidikan abad 21 dengan Kurikulum 2013 menekankan pada pembelajaran yang berpusat pada siswa (student-centered), yang bertujuan untuk memaksimalkan potensi peserta didik untuk secara aktif membangun pengetahuannya sendiri melalui metode penemuan (inquiry method). Metode belajar seperti itu dapat mengarahkan semua anak akan berkembang sesuai dengan potensinya masing-masing secara optimal.

Dengan penekanan pada aktivitas siswa, maka guru bukan lagi menjadi sosok “dewa” yang menjadi sumber belajar yang serbatahu, dan peserta didik adalah mereka yang tidak tahu apa-apa, sehingga harus diceramahi untuk menjadi tahu, melainkan guru menjadi salah satu sumber belajar yang bertugas memfasilitasi siswa untuk mengoptimalkan belajarnya.

Dalam usaha membangun pengetahuannya, model PAKEM merupakan salah satu model pembelajaran yang dipromosikan oleh pemerintah. Konsep yang merupakan akronim ini bahkan mungkin sudah dikenal oleh semua guru di Indonesia.

Permasalahannya adalah bukan terletak pada pemahaman teoretis semata, tetapi lebih menekankan pada usaha aplikatif. Sebuah teori atau konsep tanpa aplikasi adalah sebuah kegagalan.

Secara konseptual model PAKEM dimulai dengan akronim P yang merujuk pada Partisipatif.  Dalam pembelajaran peserta didik hendaknya didorong untuk berpartisipasi atau terlibat dalam pembelajaran baik berupa kinerja penyelesaian tugas individu, tugas berpasangan atau kelompok. Dengan demikian, mereka harus dilatih bertanggung jawab terhadap pembelajarannya sendiri, menggunakan kemampuan kognitif, psikomotor, dan afektifnya.

A adalah Aktif. Pembelajaran yang sukses pada era sekarang ini adalah bukan guru yang aktif menjelaskan, melainkan siswa yang aktif menemukan pengetahuannya sendiri. Cara membuat mereka aktif adalah melalui pembelajaran berbasis aktivitas (activity-based) atau penugasan (task-based). Sebagai contoh dalam kegiatan berbasis aktivitas dalam bahasa Inggris, siswa diminta beraktivitas, yakni berinteraksi dengan guru dalam proses membaca atau mendengarkan sebuah cerita, lalu mereka bertanya jawab, kemudian menceritakan kembali cerita tersebut (storytelling).

Baca juga:  Kejari Gianyar Awasi Keberadaan Aliran Kepercayaan

Dengan aktivitas atau tugas, mereka akan terlibat langsung dalam proses pembelajaran yang mengombinasikan aspek kognitif (pikiran) dan kinestetik (gerak) dalam memahami dan mengaplikasikan materi yang dipelajari (psikomotor) dengan kegiatan nyata, sehingga mereka tidak menjadi partisipan yang pasif, hanya mendengarkan ceramah dari guru, yang sering membuat mereka mengantuk dan bosan, bahkan apa yang dipelajari tidak menempel pada ingatannya. Seperti pepatah Kongfuchu, “Kami dengar maka kami lupa, kami aktif terlibat, maka kami mengerti”.

Selanjutnya, dalam mengikuti pembelajaran, siswa hendaknya diarahkan untuk menjadi pribadi yang Kreatif (K), yaitu belajar menciptakan (create) sesuatu sebagai hasil dari belajar. Kreatif juga mengindikasikan inovasi. Pada abad ke-21 ini, orang yang sukses adalah mereka yang mampu menciptakan inovasi atau pembaruan. Jadi, kegiatan mencipta hendaknya dilatihkan oleh guru secara terus-menerus di sekolah.

Dalam mencipta tentu apa yang diciptakan pada setiap jenjang pendidikan akan berbeda-beda. Sebagai contoh, dalam belajar bahasa Inggris untuk anak SD mereka bisa diperkenalkan kosa kata tertentu sesuai tema yang diajarkan, misalnya pada cerita fabel yakni tentang binatang (animal), mereka menemukan sejumlah kata terkait, kemudian mereka bisa diarahkan untuk membuat kalimat dari kosa kata yang disediakan tersebut dengan menghubungkannya pada kehidupan nyata. Bila sejak kecil dilatih untuk membaca kemudian mengkreasi kalimat-kalimat, tidak menutup kemungkinan dalam kehidupannya mereka bisa menjadi penulis yang andal.

Tugas seorang guru dikatakan berhasil bila apa yang dilakukan Efektif dan Efisien (E), artinya bahwa dalam melaksanakan pembelajaran seorang guru harus dapat mencapai target atau tujuan pembelajaran yang direncanakan dan dapat memaksimalkan pemanfaatan waktu dengan sebaik-baiknya. Dengan kata lain, setiap tujuan pembelajaran hendaknya dapat dicapai berdasarkan jumlah waktu yang dialokasikan.

Baca juga:  Bacaan Bermutu untuk Literasi

Indikator sebuah pembelajaran yang sukses adalah natural effect yaitu dampak langsung sebagai hasil pembelajaran berupa peningkatan pengetahuan dan keterampilan siswa dan nurturant effect dampak pengikut dari sebuah hasil pembelajaran, yakni dampak yang tidak langsung, yaitu berupa pengetahuan, keterampilan, dan bahkan sikap atau afeksi yang diterjadikan pada kehidupan siswa kelak.

Yang tidak kalah penting adalah dalam melaksanakan pembelajaran, guru wajib membuat pembelajaran Menarik dan Menyenangkan (M). Hal ini sangat penting karena proses belajar selalu melibatkan faktor psikologis siswa. Pembelajaran yang menarik dan menyenangkan akan menghadirkan suasana rileks, bebas dari kecemasan, dan rasa tidak aman, yang oleh Krashen dan Terrell dikenal dengan teori filter hypothesis.

Dalam teori ini diungkapkan bahwa bila dalam belajar siswa dalam kondisi serius, tegang, dan penuh tekanan, maka siswa akan mengetatkan filter (otaknya sebagai penyaring), sehingga semua yang dipelajari akan hilang lenyap dengan seketika, alias tidak ada yang masuk ke dalam otak baik dalam ingatan jangka pendek (short term memory) maupun ingatan jangka panjang (long-term memory).

Namun sebaliknya, bila mereka belajar dalam kondisi yang menyenangkan, bebas dari rasa cemas dan tidak aman, maka filter tersebut akan terbuka lebar, sehingga apa yang dipelajari dapat diserap maksimal dan tujuan pembelajaran akan tercapai dengan maksimal pula.

Salah satu cara untuk menghadirkan pembelajaran yang menyenangkan adalah melalui pemanfaatan media yang menyenangkan. Kehadiran media memegang peran sentral sebagai upaya konkritisasi konsep abstrak. Terutama pada level pendidikan sekolah dasar, pemanfaatan media pembelajaran menjadi sebuah keniscayaan.

Baca juga:  Ritual Suci, Dinodai Pesta Kembang Api

Media yang menyenangkan pada era abad 21 ini adalah media yang mengombinasikan teknologi, yaitu media digital. Media pembelajaran digital adalah media yang mengintegrasikan teks, efek suara, musik melalui bantuan teknologi.

Media berbentuk audio-visual ini, yang dihadirkan di kelas dengan pemanfaatan laptop, speaker, dan LCD terbukti mampu meningkatkan perhatian, ketertarikan, dan motivasi siswa dalam belajar. Sikap yang positif dan motivasi yang meningkat menjadi prasyarat sebuah keberhasilan pembelajaran.

Pembelajaran literasi merupakan sebuah kebijakan pemerintah yang sedang digalakkan. Literasi secara harfiah bermakna sebagai kemampuan baca tulis. Berbagai sumber membuktikan bahwa kemampuan baca tulis peserta didik Indonesia masih tergolong rendah, oleh karena itulah, pemerintah menggalakkan gerakan literasi.

Keterampilan baca tulis ini dapat ditingkatkan melalui pemanfaatan media digital. Salah satunya adalah cerita berbasis budaya lokal yang dikembangkan dalam bentuk media digital. Hasil penelitian penulis dengan tim yang dilakukan di sekolah dasar secara multi-years membuktikan bahwa kehadiran media digital dalam pembelajaran, yang mengajarkan literasi melalui cerita berbasis budaya lokal mampu meningkatkan literasi bahasa Inggris siswa sekolah dasar yaitu kompetensi membaca.

Kemampuan membaca menjadi fondasi untuk memperluas cakrawala keilmuan yang akan berdampak kemudian pada kehidupan, yakni menjadikannya manusia yang memiliki kreativitas dan inovasi yang tinggi. Maka dari itu, tugas guru di sekolah dasar untuk membentuk kebiasaan literasi pada masa golden age, yakni usia anak-anak ketika pertumbuhan dan perkembangan otak maksimal.

Penulis, dosen Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Undiksha

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *